Melalui tikus kecil yang tak lagi gesit
berlari ini aku gerakkan semauku apapun yang berada di dalam layar monitor
tabung tua nan angkuh ini. Usia nya yang telah lanjut membuat otak CPU
komputerku begitu lamban saat berpikir hingga akupun geram sendiri. Padahal
segala kegiatan berprofitku sangat mengandalkan kemampuan kecerdasan otaknya.
Langit kelabu seolah menambah kelam suasana hari ini. Tapi aku tak boleh
menghujat keadaan. Apapun itu sebaiknya kusyukuri.
Hari ini adalah hari Jumat, tiga paling
akhir dari tujuh. Hari pembuka weekend. Dan weekend ini aku punya rencana yang
cukup hebat bersama sahabatku. Rencana yang sudah kususun dari jauh-jauh hari
sebelumnya. Aku anggap ini cukup hebat sebab kegiatan ini sudah tak kulakukan
lagi sejak dua tahun lalu, tepatnya sejak bulan November 2011. Jadi, tak ada
alasan untuk aku menggerutu sepanjang hari menyalahkan keadaan.
Semakin siang hari, semakin pekat pula
awan kelabu yang tiada berujung ini. Sesekali gerimis turun membasahi simpang
susun Semanggi yang nampak indah dari lantai 21 gedung BRI 2. Kemudian Tegar
memanggilku dan mengajakku turun untuk bersiap-siap menunaikan sembahyang
mingguan yang fardlu’ain bagi umat muslim pria. Dan ketika melangkah keluar
kantor, angin kencang menerjang kami. Debu dan daun kering yang beterbangan
membuat mata kami berdua kelilipan. Awan-awan kelabu di langit yang tadinya
nampak diam sekarang semakin kentara berjalan beramai-ramai dalam jumlah yang
massif bersiap menurunkan segala muatannya. Aku merasa semakin was-was, mungkin
begitu juga dengan tegar, takut kalau-kalau segala kondisi alam ini membuyarkan
segenap rencanaku, juga rencana tegar bersama pacarnya. Setelah selesai
sembahyangpun aku buru-buru masuk kantor, tak seperti biasanya yang mampir dulu
membeli sepotong camilan remeh. Cuaca ini lah yang menyebabkan hal tersebut.
Apa yang ditakutkan terjadi, hujan turun
dengan derasnya diiringi angin kencang. Alih-alih semakin menghujat keadaan
entah kenapa kok aku justru malah bahagia dan senang. Sebelah mataku yang lain
meyakini bahwa hujan di siang bolong ini telah menyisipkan sebuah sambutan dari
Tuhan. Tak ada keraguan sedikitpun kalau rencanaku pasti berjalan dengan penuh
warna. Aku nikmati segalanya ini dengan secangkir minuman panas dan puluhan
lagu dari band “The Trees and The Wild” yang sedang hangat-hangatnya
kugandrungi. Lengkaplah sudah kenikmatan ini.
Via Luminten, aku me-whatsapp Udin,
menanyakan apakah di kontrakan hujan atau tidak.
“Din, Udan ora neng kono?” Tanyaku.
“Udan Yu, Piye iki? Terancam gagal!”
Balas udin dengan cepat
“Hahaha.. lha ngopo gagal?! Tetep
sidolah, wes siap kabeh!” Sanggahku
Sahabatku yang satu ini sudah kukenal
sejak kuliah. Awalnya memang tak begitu dekat tapi diakhir-akhir kuliah aku dan
Udin (dan teman-teman lainnya) menjalani hari-hari bersama yang selalu
menyenangkan. Sekarang dia sedang off dari kegiatan mencari pundi-pundi rupiah
di pulau borneo sana. Aktivitas yang setiap harinya adalah seputar menggali
harta karun yang berupa emas hitam membara telah menghasilkan residu berupa kepenatan
yang mungkin lebih parah dari kepenatanku tinggal di Ibu kota Negara ini. Maka,
dengan menggagas rencana ini Ia sebenarnya berusaha untuk sekedar mencari udara
segar guna menghilangkan rasa jengah yang menggelora.
Sudah sejak sehari kemarin ia sampai di
Jakarta dan langsung menuju kontrakanku untuk menginap. Dan sesampainya di
bilangan Srengseng, segera dia mengajakku melengkapi keperluan untuk rencana di
weekend ini. Kuajak dia mengarungi lautan kendaraan di jalan-jalan protokol
untuk mencari toko outdoor gear yang lumayan lengkap. Dengan dompet yang penuh
isi dia memborong banyak gear terbaik. Tapi ternyata tak hanya untuk diri
sendiri yang dia beli, teman-temannya yang akan ikut acara ini pun ikut menitip
dibelikan gear juga ke Udin. Kemudian kuajak Udin makan gule tikungan yang
menjadi buah bibir para pecinta kuliner di Jakarta. Aku menghabiskan dua
piring, begitu juga dia. Badanku semakin terasa capek, aku ingin segera pulang.
Namun sebelum pulang aku harus mengambil barang-barang yang aku butuhkan untuk
mensukseskan acara ini. Aku menyewanya sejak seminggu lalu sebab jika aku membeli barang
tersebut, niscaya stabilitas keuangan rumah tanggaku akan remuk redam. Setelah
aku mengambil semua barang tersebut maka lengkap sudah checklist barang-barang
yang harus dibawa. Malam kemarin aku sudah bisa tidur nyenyak.
Jam tanganku yang sangat outdoor look ini
menunjukan pukul 4 sore. Dari jendela kantor yang mengembun menandakan hujan
deras belum juga mau menghentikan terjangannya. Aku bahkan tak sedikitpun merasa
khawatir akan hal ini. Kuanggap hujan sebagai pembawa berkah karena air pada
dasarnya adalah sumber kehidupan terpenting. Tegar yang juga punya rencana yang
mirip dengan rencanaku, mengajakku untuk sesegera mungkin pulang dengan
menerobos hujan ini. Kuiyakan saja ajakan itu, toh menerobos disini juga tetap
menggunakan mantol individu. Dengan memakai jas hujan yang bagian celananya
bolong menganga, aku terjang segala rintik dan bulir hujan yang
berangsur-angsur berhenti ini. Untungnya si Jengki (nama motoku) sangat
kooperatif untuk diajak berjuang. Aku salut akan liukannya di sela-sela
angkuhnya mobil yang berjejer berurutan tak bergerak.
Ketika sampai di rumah kontrakan, Udin
telah siap dengan tas carrier deuter dan segala tetek bengeknya. Sedangkan aku
sendiri belum ber-packing sama sekali. Kulihat barang-barang yang berserakan
diruang tengah cukup banyak dan smua ini harus kubawa. Celakanya aku hanya
punya tas deuter kecil kapasitas 30an liter yang setiap harinya kugunakan
sebagi tas kantor. Penampilannya yang sangat office look sungguh kurang layak
digunakan untuk perjalanan besok. Sebenarnya minggu lalu aku sudah berencana
meminjam tas carrier milik Sigit bahkan aku sudah menyambangi kosnya untuk
meminjam tasnya. Namun setelah kulihat kok rasanya terlalu besar dan ribet
untuk dibawa dalam perjalanan ini. Inilah blunderku, aku terlalu meremehkan
alam. Sekiranya ini bisa dijadikan contoh buruk kalau apapun tindakan yang
meremehkan itu sungguh akan menimbulkan hal yang tak menyenangkan.
Terpaksa aku harus menggunaka tas deuter
hitamku ini. Kuperkosa tasku agar puluhan amunisi mampu masuk dengan cara
menekan dan memadat-madatkan hingga gepeng. Barang-barang mulai dari P3K, Baju
ganti, Sleeping Bed, nesting, hingga kompor gaspun kupaksa masuk dalam lobang tas yang terbuka
menganga. Hebatnya, semua mampu masuk dalam satu tas meskipun akhirnya tasku
berbentu tak beraturan, menonjol kesana kemari sperti ibu-ibu gendut yang
memakai baju ketat dan terlihat lipatan lemaknya kemana-mana. Tapi ada satu
konsekuensi yang harus kuterima, yaitu aku harus membawa dome atau tenda yang
telah dilipat dengan cara menjinjingnya. Aku yakin ini tak mudah dan pasti akan
menghambat perjalanan besok.
Nyaris seharian matahari telah
disembunyikan hingga ia benar-benar akan meninggalkan hari ini. Terdengar
sayup-sayup kumandang adzan maghrib saling bersautan. Udin menghubungi
teman-temannya yang dia kenal karena pertemanannya di kantor untuk menanyakan
kesiapan keberangkatan malam ini. Dia juga menghubungi salah satu temen
ceweknya yang juga aku kenal. Namanya Ari Widya, panggilannya Ari atau Widya,
terserah anda saja. Nama “Ari” itu menurutku lebih familiar digunakan untuk
nama seorang pria, contoh saja seperti artis Ari Wibowo, Ari Sihasale, Ari
Untung, Ari Tulang atau bahkan Ari-a Kamandanu. Tak pelak kemachoan namanya itu
berimbas kepada tingkah laku dan polahnya yang mungkin lebih ke-cowok-cowok-an.
Ari mengaku sendiri kalau dia nyaman jika berteman atau berbaur dengan para
laki-laki. Bahkan sekarang Ari mencari isi untuk dompetnya dengan berkelana di
Borneo sebagai pengepul batu bara, profesi yang sejatinya lebih diperuntukkan
untuk kaum pria. Oiya, aku dan Udin kenal Ari sejak kami dipertemukan dalam KKN
(Kuliah kerja Nyata) yang mengambil lokasi di Desa Cisayong Kota Tasikmalaya
Jawa Barat tiga tahun silam. KKN yang kuberi moto “Almost Liburan Barely Kerja
Nyata” itulah yang mengikatkan tali persahabatan hingga detik ini dan membawa
kami berkumpul kembali. Aku cukup tak menyangka bisa bertemu anak ini lagi
sebentar lagi.
Semua personil sudah siap dan mulai beranjak pergi
menuju tempat yang telah kami sepakati sebagai meeting point, yaitu terminal
Kampung Rambutan. Tapi sebentar, ada sesosok teman yang belum kuceritakan
disini. Di dalam dirinya terdapat jiwa-jiwa sendu yang dengan kegalauannya
mampu menghasilkan sebuah karya untaian kata-kata indah penuh makna. Rangkaian
kata-katanya banyak mengulas tentang keindahan seorang wanita yang terbungkus
oleh kemesteriusan sifat-sifat alaminya. Wanita mana yang tak terkena serangan
skak matt dari nya jika dia sudah berubah menjadi ksatria pujangga?! Namanya
Ahda Mulyadi Lubis, sahabatnya sering memanggilnya Ucok. Terlihat dari namanya
yang tak bisa menipu jika dia adalah keturunan suku batak dan jawa. “Lubis”
adalah nama bataknya, dan “Mulyadi” itu sangat njawani sekali. Namun anak yang
satu ini lahir di ranah minang, besar dan sekolah SMA di padang. Diajak ngobrol
bahasa batak dia fasih, berbicara minang dia mampu, berceloteh Jawapun dia
lancar, bahkan kemahiran berbahasa inggris tak bisa diragukan lagi terbukti
dengan nilai toefl nya yang 500 lebih. Aku, Udin, Ucok, adalah teman satu
jurusan saat kuliah di Jogja, Kami merupakan personil PALASIGMA (pecinta alam
jurusan), kami juga satu pembimbing tugas akhir, bahkan kami juga tergabung
dalam punggawa Kontrakan Mahasiswa Teknik Sipil. Sedangkan kami bertiga plus
Ari adalah teman satu KKN seperti yang telah kuceritakan tadi.
Si ucok menelpon Udin dan memberitahukan
bahwa dia sedang akan menaiki angkot untuk menuju terminal. Aku dan Udin
memutuskan segera berangkat. Kami berpamitan kepada Tegar dan saling mendoakan
satu sama lain semoga acara kami masing-masing sukses. Kita bertemu di
ketinggian, kawan!
Kami berdua sepakat untuk menggunakan
kendaran mewah, taksi blue bird mengingat bawaan kami yang begitu banyak.
Selain tas punggung, kami juga membawa barang jinjingan seperti dome, 3 buah
matras, belum lagi tas carries Udin yang besar. Tentunya sangat menyusahkan
jika kami harus naik bus umum di jam-jam pulang kantor seperti ini apalagi
kondisi masih gerimis.
Sekitar satu jam lebih perjalanan
menembus kesemrawutan jalanan Jakarta hingga kamipun tiba di meeting point.
Ucok dan Ari telah mengabarkan kalau di telah sampai disini. Maka kami segera
mencari kedua makhluk itu. Tak lama, akhirnya kami bertemu mereka.
“Haloo Dinn, kok kamu nggak berubah sih
Din, masih sama aja kayak dulu” Sambut Ari excited.
Memang kami sudah lama tak bertemu
dengannya, Terakhir mungkin saat KKN kami mengadakan reuni sekaligus buka
bersama tahun 2010 silam. Berarti sudah tiga tahun lamanya tak bersua.
“Kamu juga ngguy, nggak berubah. Tapi
kalo ngliat kamu hawanya adem ya, ngguyu mulu sih..haha” Timpal Ari, entah
memuji atau mengejekku.
Tiga tahun memang bukan waktu yang
sebentar, tapi juga bukan waktu yang lama. Tak ada perubahan yang signifikan
dalam wajah kami masing-masing. Pun dengan pola pikir kami. Semua masih seperti
zaman kuliah dulu. Kami masih sering suka saling ejek, atau bahkan saling
menggombal tanpa arah. Kelucuan kami tak banyak berubah.
Sepasang muda-mudi tiba-tiba menghampiri
kami, yang laki-laki bertubuh kekar dan atletis, berambut cepak dan berkumis,
memakai kaos dan celana pendek serta memakai tas daypack ukuran sedang. Yang
perempuan berjilbab lebar, berbaju longgar dan berbawahan lebar pula, tipe-tipe
ukhti yang syakinah mawadah warohmah lah pokoknya tapi tetap modis. Kami saling
berkenalan tanpa berjabat tangan. Namanya Dhimas, teman satu perusahaan yang
umurnya dua tahun lebih tua dariku. Yang perempuan bernama Winda. Udin sama
sekali tak kenal Winda karena Winda ini adalah teman (dekat?) dari Dhimas.
Semua punggawa telah lengkap. Segala
amunisi telah dipersiapkan dari rumah masing-masing. Perjalanan akan dimulai.
Perjalanan menuju sebuah gunung yang tak cukup tinggi. Sebuah gunung yang masih
memiliki dapur magma aktif dan menghempaskan asap-asap belerangnya dengan
gagah. Kami ber-enam akan mendaki Papandayan. Menikmati alamnya yang selalu di
rekomendasikan oleh para penulis catatan perjalanan di dunia maya.
Kami berjalan menuju pintu keluar
terminal berharap masih ada bus tujuan Garut yang beroperasi. Temanku
menyarankan jika ingin ke Garut sebaiknya menggunakan bus Primajasa. Namun saat
itu aku tak melihat satupun bus tersebut. Seorang bapak paruh baya mendatangi
kami menawarkan bus yang masih kosong. Ku Tanya harga tiketnya, ternyata
sebesar 45 ribu rupiah. Ini lebih mahal sepuluh ribu ketimbang info-info yang
diberikan di catper. Tapi tak apalah, bus nya memang lumayan nyaman karena
dilengkapi dengan fasilitas air conditioner meski tak terlalu dingin. Aku duduk
bertiga bersama Ari dan Ucok. Udin dan Dhimas duduk berdua sedangkan Winda
ditinggal sendirian di tempat duduk yang harusnya bisa diisi dua orang. Aku
cukup kaget, aku kira Dhimas mau menemani Winda duduk. Praktis sepanjang
perjalanan tak pernah sedikitpun terlihat kedua sejoli itu mengobrol. Kasihan
Winda. Coba aku yang diposisi….ah sudahlah!
Bus Wanaraja yang tulisan “Wanaraja” nya
warna-warni mirip seperti tulisan bus Budiman ini beranjak lepas landas dari
kelamnya terminal. Didalam bus, kami bertiga mengobrol tentang ini itu.
Kebanyakan berceloteh seputar bagaimana kabar si A, kerja dimana dia, atau Si B
sekarang sudah menikah padahal belum lulus kuliah. Si A si B ini merujuk kepada
teman KKN kami (hehehe). Kami sedang mengais-ais kenangan jaman kuliah dan KKN.
Dari sekian candaan dan obrolan kami, kusimpulkan bahwa si Ari ini termasuk
populer, buktinya dia banyak mengenal teman-teman satu jurusanku baik yang
sudah tua atau masih berondong. Bahkan dia juga mengenal teman-teman SMA ku.
How could you do that, Ari? Dunia memang sebesar biji kelereng.
Sungguh mengasyikkan beremeh-temeh
bersama mereka. Sudah lama aku tak merasakan obrolan ringan diiringi candaan
renyah tentang kehidupan dan persahabatan, juga percintaan. Meskipun kami terpisah
jarak, waktu, dan juga besar gaji tapi kami masih sama seperti 3 tahun lalu.
Kami masih berpegang teguh kepada kesederhanaan yang tanpa dibuat-buat. Dan
semua paket lengkap ini membuat diriku pribadi bahagia. Bahagia yang timbul
begitu saja.
*****************************
“Terminal Guntur Habis, Terminal Guntur
Habis!”
Teriakan tersebut sangat mengganggu
tidurku. Kupaksa mata untuk membuka dan kulihat bus kami sudah sampai di
terminal Guntur kota Garut, kota yang dijuluki “Swiss Van Java”. Kuberangus
habis rasa malas bangunku untuk segera turun dari bus tapi di sisi kananku
makhluk kecil berjiwa besar ini masih mengembara di dunia entah berantah dalam
mimpinya. Segera Ucok dan aku membangunkannya agar tak kami tinggal begitu saja
dalam bus. Dengan mukanya yang kusut dan tak beraturan serta tenaga sebesar 5
minus 4.99 watt Ari turun dari bus. Kami kemudian memutuskan untuk beristirahat
di Masjid terminal yang terletak didekat toilet umum. Ternyata sudah ada
beberapa pendaki seperti kami yang telah beristirahat di masjid sejak tadi. Sebagian
dari kami memutuskan untuk melanjutkan berpetualang di dunia mimpi lagi. Namun,
aku, Ucok, dan Udin puny ide untuk menikmati suasana terminal yaitu dengan
menyeruput segelas susu jahe hangat di sebuah warung kopi sederhana.
Pukul dua dini hari tak membuat sepi
suasana terminal, justru jam segini lah para perantau dari Jakarta baru tiba di
Garut. Penjual nasi goreng kaki lima tak surut kebanjiran para pengunjung
terminal, dan memang weekend seperti inilah para pendaki gunung di seputaran
Garut banyak berdatangan, seolah-seolah mereka telah saling berjanji sebelumnya
untuk memenuhi terminal dengan sejuta rasa penat akan akitivitas kesehariannya
yang membosankan. Di sinilah kami semua para pendaki akan memulai keceriaan
akhir pekan ini.
Segerombolan pendaki akan melanjutkan
perjalanan ke pasar Cisurupan dengan menaiki angkot berbentuk mobil elf. Aku
kemudian berinisiatif mendekati seseorang dari mereka kemudian kutanyai tariff
elf tersebut sekali jalan. Dia berkata berkata bahwa dia harus menggelontorkan
dana sebesar 120 ribu untuk mencarter elf ini terserah berapapun penumpangnya.
Cukup murah ketimbang yang di infokan di capter-capter. Segera kulakukan
lobi-lobi dengan salah satu sopir elf tersebut, tanpa ba-bi-bu terjadilah
kesepakatan harga.
Setelah membangunkan Ari yang tertidur
sangat-sangat pulas dan juga Winda yang walapun masih tertidur tapi tetap jaga
imej, kami beranjak untuk menaiki elf tadi. Aku yakin, bagi ari ini hanyalah
pindah tidur belaka, tidak bagiku yang tak gampang terlelap. Di tengah
perjalanan tiba-tiba pak supir mengerem mendadak menimbulka bunyi melengking.
Kami semua terkejut. Kemudian nampak kucing berwarna putih loreng hitam berlari
dari arah roda mobil menuju semak-semak pinggir jalan. Mamang supir sedikit
ketakutan, mungkin dengan mitos membunuh kucing akan menimbulkan sial, maka dia
menghentikan mobil. Aku memberitahu mamang bahwa kucing masih hidup dan
berlari-lari lucu. Si mamang terlihat lega dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Dalam hati aku membatin, “apakah ini firasat buruk? Ah itu kan hanya mitos!”
Sekitar sepuluh menit kemudian sopir
kembali menginjak kampas rem dengan kencang. Ari untuk kesekian kalinya
terperanjak dari tidurnya. Kuamati apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mamang
sopir hampir menabrak kucing untuk kedua kalinya! Untung tak sampai bersentuhan.
Lagi-lagi aku berkata dalam hati, “apakah Tuhan sedang mengingatkan?”
Tak sampai lima menit, saat mobil berada
di tikungan tiba-tiba dari arah berlawanan melintaslah sebuah truk dengan
kecepatan tinggi, mobil kami nyaris saja bertabrakan dengan truk tersebut,
mungkin hanya terpaut sekian Senti. Sungguh mengerikan memang. Pada akhirnya
aku hanya berpikir positif bahwa rangkain kejadian aneh-aneh tersebut cukup
lumrah terjadi di perjalanan tengah malam semacam ini. Toh kami juga bukan
sedang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat, maka percaya saja bahwa
Tuhan akan selalu melindungi kami. Dalam hati aku membatin, “jangan ambil
nyawaku dulu Tuhan, aku belum pernah mencicipi indahnya menikah”.
Perjalanan 30 menit yang mencekam itu
telah berhasil kami lalui dengan tidak santai hingga kami tiba di sebuah gapura
yang menandakan bahwa daerah ini bernama Cisurupan. Di tempat ini telah banyak
pendaki yang mendahului kami. Mereka sedang beristirahat dan sebagian juga melengkapi
logistik dan perbekalan. Kami beristirahat tepat didepan sebuah warung makanan
sekaligus toko kelontong yang menjajakan aneka sembako. Di toko ini, kamipun
ikut melengkapi logistik yang kami butuhkan. Piring, sendok, dan gelas tak
dibawa oleh satupun diantara kami berenam. Akhirnya Ucok membeli kertas minyak
sebagai pengganti piring, aqua gelas sebagai pengganti gelas dan meminjam
sendok dari pemilik toko.
Disini iseng-iseng kutanyai Winda tentang
pekerjaan dan pendidikannya, ternyata di berkerja di sebuah BUMN Operator jalan
tol nasional sementara aku banyak kenal orang-orang di BUMN itu seperti Bimo,
Lina, Mery, Vera, dkk dkk. Dia juga bilang kalau dia lulusan Ekonomi UGM
seangkatan denganku, aku juga punya teman se-SMA yang kuliah di ekonomi UGM dan
ternyata Winda kenal juga denga temanku ini. Dunia ini sungguh kecil
sodara-sodara!
Kumandang adzan subuh bergema dari masjid
cisurupan depan kami beristirahat. Ini menandakan bahwa sebentar lagi langit di
ufuk timur akan berwarna keemasan. Kami bertekad untuk melanjutkan perjalanan ke
basecamp papandayan setelah melakukan sembahyang rutin ini.
(bersambung ke part 2...hehe)
0 komentar:
Posting Komentar