Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memahami Kasih Sayang Gunung Belerang, Papandayan (Part 1)

Melalui tikus kecil yang tak lagi gesit berlari ini aku gerakkan semauku apapun yang berada di dalam layar monitor tabung tua nan angkuh ini. Usia nya yang telah lanjut membuat otak CPU komputerku begitu lamban saat berpikir hingga akupun geram sendiri. Padahal segala kegiatan berprofitku sangat mengandalkan kemampuan kecerdasan otaknya. Langit kelabu seolah menambah kelam suasana hari ini. Tapi aku tak boleh menghujat keadaan. Apapun itu sebaiknya kusyukuri.

Hari ini adalah hari Jumat, tiga paling akhir dari tujuh. Hari pembuka weekend. Dan weekend ini aku punya rencana yang cukup hebat bersama sahabatku. Rencana yang sudah kususun dari jauh-jauh hari sebelumnya. Aku anggap ini cukup hebat sebab kegiatan ini sudah tak kulakukan lagi sejak dua tahun lalu, tepatnya sejak bulan November 2011. Jadi, tak ada alasan untuk aku menggerutu sepanjang hari menyalahkan keadaan.

Semakin siang hari, semakin pekat pula awan kelabu yang tiada berujung ini. Sesekali gerimis turun membasahi simpang susun Semanggi yang nampak indah dari lantai 21 gedung BRI 2. Kemudian Tegar memanggilku dan mengajakku turun untuk bersiap-siap menunaikan sembahyang mingguan yang fardlu’ain bagi umat muslim pria. Dan ketika melangkah keluar kantor, angin kencang menerjang kami. Debu dan daun kering yang beterbangan membuat mata kami berdua kelilipan. Awan-awan kelabu di langit yang tadinya nampak diam sekarang semakin kentara berjalan beramai-ramai dalam jumlah yang massif bersiap menurunkan segala muatannya. Aku merasa semakin was-was, mungkin begitu juga dengan tegar, takut kalau-kalau segala kondisi alam ini membuyarkan segenap rencanaku, juga rencana tegar bersama pacarnya. Setelah selesai sembahyangpun aku buru-buru masuk kantor, tak seperti biasanya yang mampir dulu membeli sepotong camilan remeh. Cuaca ini lah yang menyebabkan hal tersebut. 

Apa yang ditakutkan terjadi, hujan turun dengan derasnya diiringi angin kencang. Alih-alih semakin menghujat keadaan entah kenapa kok aku justru malah bahagia dan senang. Sebelah mataku yang lain meyakini bahwa hujan di siang bolong ini telah menyisipkan sebuah sambutan dari Tuhan. Tak ada keraguan sedikitpun kalau rencanaku pasti berjalan dengan penuh warna. Aku nikmati segalanya ini dengan secangkir minuman panas dan puluhan lagu dari band “The Trees and The Wild” yang sedang hangat-hangatnya kugandrungi. Lengkaplah sudah kenikmatan ini.  

Via Luminten, aku me-whatsapp Udin, menanyakan apakah di kontrakan hujan atau tidak.

“Din, Udan ora neng kono?” Tanyaku.

“Udan Yu, Piye iki? Terancam gagal!” Balas udin dengan cepat

“Hahaha.. lha ngopo gagal?! Tetep sidolah, wes siap kabeh!” Sanggahku

Sahabatku yang satu ini sudah kukenal sejak kuliah. Awalnya memang tak begitu dekat tapi diakhir-akhir kuliah aku dan Udin (dan teman-teman lainnya) menjalani hari-hari bersama yang selalu menyenangkan. Sekarang dia sedang off dari kegiatan mencari pundi-pundi rupiah di pulau borneo sana. Aktivitas yang setiap harinya adalah seputar menggali harta karun yang berupa emas hitam membara telah menghasilkan residu berupa kepenatan yang mungkin lebih parah dari kepenatanku tinggal di Ibu kota Negara ini. Maka, dengan menggagas rencana ini Ia sebenarnya berusaha untuk sekedar mencari udara segar guna menghilangkan rasa jengah yang menggelora. 

Sudah sejak sehari kemarin ia sampai di Jakarta dan langsung menuju kontrakanku untuk menginap. Dan sesampainya di bilangan Srengseng, segera dia mengajakku melengkapi keperluan untuk rencana di weekend ini. Kuajak dia mengarungi lautan kendaraan di jalan-jalan protokol untuk mencari toko outdoor gear yang lumayan lengkap. Dengan dompet yang penuh isi dia memborong banyak gear terbaik. Tapi ternyata tak hanya untuk diri sendiri yang dia beli, teman-temannya yang akan ikut acara ini pun ikut menitip dibelikan gear juga ke Udin. Kemudian kuajak Udin makan gule tikungan yang menjadi buah bibir para pecinta kuliner di Jakarta. Aku menghabiskan dua piring, begitu juga dia. Badanku semakin terasa capek, aku ingin segera pulang. Namun sebelum pulang aku harus mengambil barang-barang yang aku butuhkan untuk mensukseskan acara ini. Aku menyewanya sejak seminggu lalu sebab jika aku membeli barang tersebut, niscaya stabilitas keuangan rumah tanggaku akan remuk redam. Setelah aku mengambil semua barang tersebut maka lengkap sudah checklist barang-barang yang harus dibawa. Malam kemarin aku sudah bisa tidur nyenyak.

Jam tanganku yang sangat outdoor look ini menunjukan pukul 4 sore. Dari jendela kantor yang mengembun menandakan hujan deras belum juga mau menghentikan terjangannya. Aku bahkan tak sedikitpun merasa khawatir akan hal ini. Kuanggap hujan sebagai pembawa berkah karena air pada dasarnya adalah sumber kehidupan terpenting. Tegar yang juga punya rencana yang mirip dengan rencanaku, mengajakku untuk sesegera mungkin pulang dengan menerobos hujan ini. Kuiyakan saja ajakan itu, toh menerobos disini juga tetap menggunakan mantol individu. Dengan memakai jas hujan yang bagian celananya bolong menganga, aku terjang segala rintik dan bulir hujan yang berangsur-angsur berhenti ini. Untungnya si Jengki (nama motoku) sangat kooperatif untuk diajak berjuang. Aku salut akan liukannya di sela-sela angkuhnya mobil yang berjejer berurutan tak bergerak. 

Ketika sampai di rumah kontrakan, Udin telah siap dengan tas carrier deuter dan segala tetek bengeknya. Sedangkan aku sendiri belum ber-packing sama sekali. Kulihat barang-barang yang berserakan diruang tengah cukup banyak dan smua ini harus kubawa. Celakanya aku hanya punya tas deuter kecil kapasitas 30an liter yang setiap harinya kugunakan sebagi tas kantor. Penampilannya yang sangat office look sungguh kurang layak digunakan untuk perjalanan besok. Sebenarnya minggu lalu aku sudah berencana meminjam tas carrier milik Sigit bahkan aku sudah menyambangi kosnya untuk meminjam tasnya. Namun setelah kulihat kok rasanya terlalu besar dan ribet untuk dibawa dalam perjalanan ini. Inilah blunderku, aku terlalu meremehkan alam. Sekiranya ini bisa dijadikan contoh buruk kalau apapun tindakan yang meremehkan itu sungguh akan menimbulkan hal yang tak menyenangkan.

Terpaksa aku harus menggunaka tas deuter hitamku ini. Kuperkosa tasku agar puluhan amunisi mampu masuk dengan cara menekan dan memadat-madatkan hingga gepeng. Barang-barang mulai dari P3K, Baju ganti, Sleeping Bed, nesting, hingga kompor gaspun  kupaksa masuk dalam lobang tas yang terbuka menganga. Hebatnya, semua mampu masuk dalam satu tas meskipun akhirnya tasku berbentu tak beraturan, menonjol kesana kemari sperti ibu-ibu gendut yang memakai baju ketat dan terlihat lipatan lemaknya kemana-mana. Tapi ada satu konsekuensi yang harus kuterima, yaitu aku harus membawa dome atau tenda yang telah dilipat dengan cara menjinjingnya. Aku yakin ini tak mudah dan pasti akan menghambat perjalanan besok.

Nyaris seharian matahari telah disembunyikan hingga ia benar-benar akan meninggalkan hari ini. Terdengar sayup-sayup kumandang adzan maghrib saling bersautan. Udin menghubungi teman-temannya yang dia kenal karena pertemanannya di kantor untuk menanyakan kesiapan keberangkatan malam ini. Dia juga menghubungi salah satu temen ceweknya yang juga aku kenal. Namanya Ari Widya, panggilannya Ari atau Widya, terserah anda saja. Nama “Ari” itu menurutku lebih familiar digunakan untuk nama seorang pria, contoh saja seperti artis Ari Wibowo, Ari Sihasale, Ari Untung, Ari Tulang atau bahkan Ari-a Kamandanu. Tak pelak kemachoan namanya itu berimbas kepada tingkah laku dan polahnya yang mungkin lebih ke-cowok-cowok-an. Ari mengaku sendiri kalau dia nyaman jika berteman atau berbaur dengan para laki-laki. Bahkan sekarang Ari mencari isi untuk dompetnya dengan berkelana di Borneo sebagai pengepul batu bara, profesi yang sejatinya lebih diperuntukkan untuk kaum pria. Oiya, aku dan Udin kenal Ari sejak kami dipertemukan dalam KKN (Kuliah kerja Nyata) yang mengambil lokasi di Desa Cisayong Kota Tasikmalaya Jawa Barat tiga tahun silam. KKN yang kuberi moto “Almost Liburan Barely Kerja Nyata” itulah yang mengikatkan tali persahabatan hingga detik ini dan membawa kami berkumpul kembali. Aku cukup tak menyangka bisa bertemu anak ini lagi sebentar lagi. 

Semua personil sudah siap dan mulai beranjak pergi menuju tempat yang telah kami sepakati sebagai meeting point, yaitu terminal Kampung Rambutan. Tapi sebentar, ada sesosok teman yang belum kuceritakan disini. Di dalam dirinya terdapat jiwa-jiwa sendu yang dengan kegalauannya mampu menghasilkan sebuah karya untaian kata-kata indah penuh makna. Rangkaian kata-katanya banyak mengulas tentang keindahan seorang wanita yang terbungkus oleh kemesteriusan sifat-sifat alaminya. Wanita mana yang tak terkena serangan skak matt dari nya jika dia sudah berubah menjadi ksatria pujangga?! Namanya Ahda Mulyadi Lubis, sahabatnya sering memanggilnya Ucok. Terlihat dari namanya yang tak bisa menipu jika dia adalah keturunan suku batak dan jawa. “Lubis” adalah nama bataknya, dan “Mulyadi” itu sangat njawani sekali. Namun anak yang satu ini lahir di ranah minang, besar dan sekolah SMA di padang. Diajak ngobrol bahasa batak dia fasih, berbicara minang dia mampu, berceloteh Jawapun dia lancar, bahkan kemahiran berbahasa inggris tak bisa diragukan lagi terbukti dengan nilai toefl nya yang 500 lebih. Aku, Udin, Ucok, adalah teman satu jurusan saat kuliah di Jogja, Kami merupakan personil PALASIGMA (pecinta alam jurusan), kami juga satu pembimbing tugas akhir, bahkan kami juga tergabung dalam punggawa Kontrakan Mahasiswa Teknik Sipil. Sedangkan kami bertiga plus Ari adalah teman satu KKN seperti yang telah kuceritakan tadi.

Si ucok menelpon Udin dan memberitahukan bahwa dia sedang akan menaiki angkot untuk menuju terminal. Aku dan Udin memutuskan segera berangkat. Kami berpamitan kepada Tegar dan saling mendoakan satu sama lain semoga acara kami masing-masing sukses. Kita bertemu di ketinggian, kawan!
Kami berdua sepakat untuk menggunakan kendaran mewah, taksi blue bird mengingat bawaan kami yang begitu banyak. Selain tas punggung, kami juga membawa barang jinjingan seperti dome, 3 buah matras, belum lagi tas carries Udin yang besar. Tentunya sangat menyusahkan jika kami harus naik bus umum di jam-jam pulang kantor seperti ini apalagi kondisi masih gerimis. 

Sekitar satu jam lebih perjalanan menembus kesemrawutan jalanan Jakarta hingga kamipun tiba di meeting point. Ucok dan Ari telah mengabarkan kalau di telah sampai disini. Maka kami segera mencari kedua makhluk itu. Tak lama, akhirnya kami bertemu mereka. 

“Haloo Dinn, kok kamu nggak berubah sih Din, masih sama aja kayak dulu” Sambut Ari excited.

Memang kami sudah lama tak bertemu dengannya, Terakhir mungkin saat KKN kami mengadakan reuni sekaligus buka bersama tahun 2010 silam. Berarti sudah tiga tahun lamanya tak bersua.

“Kamu juga ngguy, nggak berubah. Tapi kalo ngliat kamu hawanya adem ya, ngguyu mulu sih..haha” Timpal Ari, entah memuji atau mengejekku.

Tiga tahun memang bukan waktu yang sebentar, tapi juga bukan waktu yang lama. Tak ada perubahan yang signifikan dalam wajah kami masing-masing. Pun dengan pola pikir kami. Semua masih seperti zaman kuliah dulu. Kami masih sering suka saling ejek, atau bahkan saling menggombal tanpa arah. Kelucuan kami tak banyak berubah. 

Sepasang muda-mudi tiba-tiba menghampiri kami, yang laki-laki bertubuh kekar dan atletis, berambut cepak dan berkumis, memakai kaos dan celana pendek serta memakai tas daypack ukuran sedang. Yang perempuan berjilbab lebar, berbaju longgar dan berbawahan lebar pula, tipe-tipe ukhti yang syakinah mawadah warohmah lah pokoknya tapi tetap modis. Kami saling berkenalan tanpa berjabat tangan. Namanya Dhimas, teman satu perusahaan yang umurnya dua tahun lebih tua dariku. Yang perempuan bernama Winda. Udin sama sekali tak kenal Winda karena Winda ini adalah teman (dekat?) dari Dhimas. 
Semua punggawa telah lengkap. Segala amunisi telah dipersiapkan dari rumah masing-masing. Perjalanan akan dimulai. Perjalanan menuju sebuah gunung yang tak cukup tinggi. Sebuah gunung yang masih memiliki dapur magma aktif dan menghempaskan asap-asap belerangnya dengan gagah. Kami ber-enam akan mendaki Papandayan. Menikmati alamnya yang selalu di rekomendasikan oleh para penulis catatan perjalanan di dunia maya. 

Kami berjalan menuju pintu keluar terminal berharap masih ada bus tujuan Garut yang beroperasi. Temanku menyarankan jika ingin ke Garut sebaiknya menggunakan bus Primajasa. Namun saat itu aku tak melihat satupun bus tersebut. Seorang bapak paruh baya mendatangi kami menawarkan bus yang masih kosong. Ku Tanya harga tiketnya, ternyata sebesar 45 ribu rupiah. Ini lebih mahal sepuluh ribu ketimbang info-info yang diberikan di catper. Tapi tak apalah, bus nya memang lumayan nyaman karena dilengkapi dengan fasilitas air conditioner meski tak terlalu dingin. Aku duduk bertiga bersama Ari dan Ucok. Udin dan Dhimas duduk berdua sedangkan Winda ditinggal sendirian di tempat duduk yang harusnya bisa diisi dua orang. Aku cukup kaget, aku kira Dhimas mau menemani Winda duduk. Praktis sepanjang perjalanan tak pernah sedikitpun terlihat kedua sejoli itu mengobrol. Kasihan Winda. Coba aku yang diposisi….ah sudahlah!

Bus Wanaraja yang tulisan “Wanaraja” nya warna-warni mirip seperti tulisan bus Budiman ini beranjak lepas landas dari kelamnya terminal. Didalam bus, kami bertiga mengobrol tentang ini itu. Kebanyakan berceloteh seputar bagaimana kabar si A, kerja dimana dia, atau Si B sekarang sudah menikah padahal belum lulus kuliah. Si A si B ini merujuk kepada teman KKN kami (hehehe). Kami sedang mengais-ais kenangan jaman kuliah dan KKN. Dari sekian candaan dan obrolan kami, kusimpulkan bahwa si Ari ini termasuk populer, buktinya dia banyak mengenal teman-teman satu jurusanku baik yang sudah tua atau masih berondong. Bahkan dia juga mengenal teman-teman SMA ku. How could you do that, Ari? Dunia memang sebesar biji kelereng.

Sungguh mengasyikkan beremeh-temeh bersama mereka. Sudah lama aku tak merasakan obrolan ringan diiringi candaan renyah tentang kehidupan dan persahabatan, juga percintaan. Meskipun kami terpisah jarak, waktu, dan juga besar gaji tapi kami masih sama seperti 3 tahun lalu. Kami masih berpegang teguh kepada kesederhanaan yang tanpa dibuat-buat. Dan semua paket lengkap ini membuat diriku pribadi bahagia. Bahagia yang timbul begitu saja. 


                              *****************************


“Terminal Guntur Habis, Terminal Guntur Habis!” 

Teriakan tersebut sangat mengganggu tidurku. Kupaksa mata untuk membuka dan kulihat bus kami sudah sampai di terminal Guntur kota Garut, kota yang dijuluki “Swiss Van Java”. Kuberangus habis rasa malas bangunku untuk segera turun dari bus tapi di sisi kananku makhluk kecil berjiwa besar ini masih mengembara di dunia entah berantah dalam mimpinya. Segera Ucok dan aku membangunkannya agar tak kami tinggal begitu saja dalam bus. Dengan mukanya yang kusut dan tak beraturan serta tenaga sebesar 5 minus 4.99 watt Ari turun dari bus. Kami kemudian memutuskan untuk beristirahat di Masjid terminal yang terletak didekat toilet umum. Ternyata sudah ada beberapa pendaki seperti kami yang telah beristirahat di masjid sejak tadi. Sebagian dari kami memutuskan untuk melanjutkan berpetualang di dunia mimpi lagi. Namun, aku, Ucok, dan Udin puny ide untuk menikmati suasana terminal yaitu dengan menyeruput segelas susu jahe hangat di sebuah warung kopi sederhana. 

Pukul dua dini hari tak membuat sepi suasana terminal, justru jam segini lah para perantau dari Jakarta baru tiba di Garut. Penjual nasi goreng kaki lima tak surut kebanjiran para pengunjung terminal, dan memang weekend seperti inilah para pendaki gunung di seputaran Garut banyak berdatangan, seolah-seolah mereka telah saling berjanji sebelumnya untuk memenuhi terminal dengan sejuta rasa penat akan akitivitas kesehariannya yang membosankan. Di sinilah kami semua para pendaki akan memulai keceriaan akhir pekan ini.

Segerombolan pendaki akan melanjutkan perjalanan ke pasar Cisurupan dengan menaiki angkot berbentuk mobil elf. Aku kemudian berinisiatif mendekati seseorang dari mereka kemudian kutanyai tariff elf tersebut sekali jalan. Dia berkata berkata bahwa dia harus menggelontorkan dana sebesar 120 ribu untuk mencarter elf ini terserah berapapun penumpangnya. Cukup murah ketimbang yang di infokan di capter-capter. Segera kulakukan lobi-lobi dengan salah satu sopir elf tersebut, tanpa ba-bi-bu terjadilah kesepakatan harga. 

Setelah membangunkan Ari yang tertidur sangat-sangat pulas dan juga Winda yang walapun masih tertidur tapi tetap jaga imej, kami beranjak untuk menaiki elf tadi. Aku yakin, bagi ari ini hanyalah pindah tidur belaka, tidak bagiku yang tak gampang terlelap. Di tengah perjalanan tiba-tiba pak supir mengerem mendadak menimbulka bunyi melengking. Kami semua terkejut. Kemudian nampak kucing berwarna putih loreng hitam berlari dari arah roda mobil menuju semak-semak pinggir jalan. Mamang supir sedikit ketakutan, mungkin dengan mitos membunuh kucing akan menimbulkan sial, maka dia menghentikan mobil. Aku memberitahu mamang bahwa kucing masih hidup dan berlari-lari lucu. Si mamang terlihat lega dan kemudian melanjutkan perjalanan. Dalam hati aku membatin, “apakah ini firasat buruk? Ah itu kan hanya mitos!”

Sekitar sepuluh menit kemudian sopir kembali menginjak kampas rem dengan kencang. Ari untuk kesekian kalinya terperanjak dari tidurnya. Kuamati apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mamang sopir hampir menabrak kucing untuk kedua kalinya! Untung tak sampai bersentuhan. Lagi-lagi aku berkata dalam hati, “apakah Tuhan sedang mengingatkan?”

Tak sampai lima menit, saat mobil berada di tikungan tiba-tiba dari arah berlawanan melintaslah sebuah truk dengan kecepatan tinggi, mobil kami nyaris saja bertabrakan dengan truk tersebut, mungkin hanya terpaut sekian Senti. Sungguh mengerikan memang. Pada akhirnya aku hanya berpikir positif bahwa rangkain kejadian aneh-aneh tersebut cukup lumrah terjadi di perjalanan tengah malam semacam ini. Toh kami juga bukan sedang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat, maka percaya saja bahwa Tuhan akan selalu melindungi kami. Dalam hati aku membatin, “jangan ambil nyawaku dulu Tuhan, aku belum pernah mencicipi indahnya menikah”.

Perjalanan 30 menit yang mencekam itu telah berhasil kami lalui dengan tidak santai hingga kami tiba di sebuah gapura yang menandakan bahwa daerah ini bernama Cisurupan. Di tempat ini telah banyak pendaki yang mendahului kami. Mereka sedang beristirahat dan sebagian juga melengkapi logistik dan perbekalan. Kami beristirahat tepat didepan sebuah warung makanan sekaligus toko kelontong yang menjajakan aneka sembako. Di toko ini, kamipun ikut melengkapi logistik yang kami butuhkan. Piring, sendok, dan gelas tak dibawa oleh satupun diantara kami berenam. Akhirnya Ucok membeli kertas minyak sebagai pengganti piring, aqua gelas sebagai pengganti gelas dan meminjam sendok dari pemilik toko.

Disini iseng-iseng kutanyai Winda tentang pekerjaan dan pendidikannya, ternyata di berkerja di sebuah BUMN Operator jalan tol nasional sementara aku banyak kenal orang-orang di BUMN itu seperti Bimo, Lina, Mery, Vera, dkk dkk. Dia juga bilang kalau dia lulusan Ekonomi UGM seangkatan denganku, aku juga punya teman se-SMA yang kuliah di ekonomi UGM dan ternyata Winda kenal juga denga temanku ini. Dunia ini sungguh kecil sodara-sodara!

Kumandang adzan subuh bergema dari masjid cisurupan depan kami beristirahat. Ini menandakan bahwa sebentar lagi langit di ufuk timur akan berwarna keemasan. Kami bertekad untuk melanjutkan perjalanan ke basecamp papandayan setelah melakukan sembahyang rutin ini. 

(bersambung ke part 2...hehe)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar