Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memahami Kasih Sayang Gunung Belerang, Papandayan (Part 3 - Habis)

Demi apapun kami takkan pernah bisa lupa akan aktivitas yang satu ini : berfoto ria. Kegiatan mengabadikan panorama ini merupakan sila pertama dari rukun traveling. Ari dengan iphone nya, Ucok dengan kamera pocket milik kantornya, Winda dengan Galaxy S4 nya kalau aku tak salah, semua tak habis-habisnya memotret Tegal Alun. 

Kami puas dan bahagia. Lalu seketika kami teringat, “ini kan masih Tegal Alun, belum sampai puncak!”. Namun Ucok sepertinya tak punya hasrat untuk sampai ke puncak Papandayan. Kira-kira masih sekitar dua jam lagi untuk sampai kesana. Dengan cuaca mendung dan logistik yang yang tak terlalu banyak dibawa maka keengganan Ucok sangatlah beralasan. Kami bertanya kepada pendaki lain yang baru sampai Tegal Alun.

“Mas, mau ke puncak?”

“Oooo nggak mas, di puncak masih lumayan jauh, pemandangannya nggak terlalu bagus juga” jawab mas-masnya.

“Lho, kok tahu? udah pernah ke puncak ya mas?” Tanya Ucok penasaran.

“Iya mas dulu udah pernah jadi nggak terlalu pengen kesana, lagian mendung gini, udah sore juga.” Terang masnya.

Dari obrolan ini kami semakin tak ingin memaksakan ke puncak. Biarlah tubuh ini kami dekatkan kepada tanah Tegal Alun. Kami semua duduk dan rebahan. Kesederhanaan ini ingin aku hayati dengan merebahkan diri, memandangi langit yang berawan, membiarkan tulang tertusuk dinginnya hawa gunung, dan menenggelamkan jiwaku dalam keheningan yang tak bertuan. Suara Ari dan Dhimas yang membahas seputar suka duka hidup sebagai pengepul batu bara mengiringi lelapku di hamparan edelweiss ini. Kemudian aku tak sadarkan diri.

Mimpiku barusan telah membawaku terbang jauh kesuatu tempat yang entah dimana hingga aku tak sadar kalau aku sedang tertidur di padang edelweiss ini. Sayup-sayup terdengar suara obrolan mereka berdua yang sedang seru-serunya membicarakan tentang dunia tambang dan ini membuatku tersadar, aku sedang berada di Tegal Alun. Dingin yang semakin menusuk nyaris membekukan semangat dan energiku, aku malas bangun. Ternyata tak cuma aku yang terlelap, Ucok dan Udin juga sama. Mungkin sekitar 20 menit kami tak sadarkan diri ditemani angin yang berbisik-bisik. Sederhana saja untuk menikmati segala keindahan ini.

Menikmati alam yang apa adanya ini

Aku bakar lagi tungku-tungku energiku yang baru saja mengalami pembekuan. Sudah semakin sore, sudah saatnya kami beranjak pulang. Sepasang pendaki lain memilih jalur pulang yang tak sama dengan jalur berangkat kesini maka kamipun mengikuti mereka agar perjalanan ini tambah bervariasi. Kami melewati jalan setapak diantara rerimbunan tanaman edelweiss. Namun tak lama kemudian mulai memasuki kawasan hutan lebat. Kondisi jalan menurun cukup terjal dan berbatu. Setelah kuamati, kami ternyata melewati lembah yang merupakan jalur lahar purba dari gunung ini. Kondisi ini mirip sekali dengan jalur kalimati di gunung Semeru.

Perjalanan Turun

Ditengah-tengah perjalanan turun, pondok salada dengan warna-warni tenda dari para pendaki terlihat kecil dan lucu. Namun kami harus segera turun karena mendung dan kabut sudah mulau turun, takutnya malah akan menutup pandangan kami. Jalan ini bisa dikatakan lebih terjal ketimbang jalan yang dilalui saat naik. Sesekali kami melalui jalan buntu, buntu disini dalam arti terlalu tinggi untuk dituruni, maka kami harus mencari jalan agak memutar yang tentunya lebih landai.

Tepat saat kami tiba di Pondok Salada kabut turun menutup pandangan kami. Jarak pandang mungkin hanya sekitar 5 meter. Tenda lain disekeliling kami bahkan sudah tak terlihat lagi gara-gara kabut ini. Setelah kulihat jam tanganku ternyata memang hari sudah mulai senja, sekitar jam 5. Dan kami berencana untuk memeriahkan malam minggu ini dengan masak-memasak dan bakar api unggun. Para cowok kecuali aku berinisiatif untuk mencari kayu kering di hutan belakang tenda, sedangkan aku dan Ari pergi ke mata air untuk buang air kecil dan mengambil air. Winda menyiap segala peralatan masak dan bahan-bahan bakunya.
Semakin mahgrib dingin semakin menusuk tulang. Kulitku seperti tersayat silet ketika aku mengambil air wudhu, perih tapi nikmat. Segera kulakukan sholat mahgrib yang ku jama’ sekaligus dengan isya. Dan setelah sembahyang ini selesai pestapun dimulai! Nasi telah dimasak sedari sore tadi. Sekarang saatnya kami memasak lauk pauk. Dari sekian mahluk yang paling pandai memasak hanyalah Ucok, dia akan menjadi chef kami malam ini. Semua komando ada di tangannya. Ucok ini, sudah jago memasak, jago pula membuat puisi. Beruntunglah yang menjadi jodohnya nanti. 

Di malam minggu yang tak biasa ini, kami berencana untuk memasak sarden rasa balado dan sayur baso tentunya dengan bumbu tambahan tertentu. Ucok mulai mengupas bawang dan mengiris tipis. Nasting diberi minyak kemudian setelah minyak mendidih, bawang, garam, dan segenap rempah dimasukkan kedalamnya. Seketika aroma wangi menusuk ke hidung kami. Perut yang tadinya agak lapar sekarang sudah memasuki kelaparan level naudzubillah. Dhimas lantas membuka kaleng sarden dan menumpahkannya ke tumisan bumbu tadi. Air liur Ari semakin menetes, lapar nian katanya.

Terkadang yang mau ikut membantu malah terkesan membuat ribet dan mengganggu Ucok. Lebih baik seperti aku ini, konsisten menonton Ucok memasak saja dari awal hingga masakan jadi. 

Menunggu masakan jadi itu sungguh lama sekali, melebihi menunggu jodoh datang. Namun akhirnya selesai juga, masakan tersaji indah dalam dua kotak nasting sederhana. Kami mengambil nasi seperlunya. Aku, Udin, dan Ari makan bersama, senasting bertiga. Setelah semua mengambil sarden bagiannya, Ari menaruh nasi langsung kedalam nasting berisi sarden itu. Kucampur dan kuaduk hingga rata, kemudian kami bertiga melahapnya bersama-sama. Tak ada kata risih, kami membabi buta memakannya, mungkin karena efek kelaparan akut. 

Setelah berhasil melahap nasi sarden, kami bertiga beralih ke nasting berisikan sayuran bakso. Sayuran bakso ini adalah campuran sayuran dengan bakso yang tadi siang kami beli. Lezat sekali rasanya. Sesederhana apapun makanan disini menjadi barang mewah yang tak bisa dibeli. Mencari di restoran manapun aku yakin tak akan bisa ditemui makanan seenak ini.

Perut kami terlihat semakin membucit, makanan telah kami sikat hingga nyaris tak bersisa. Sekarang kami begitu kekenyangan. Masih ada satu rencana lagi yang kami ingin wujudkan, berapi unggun di tengah gelap dan dinginnya Papandayan. Kayu yang tadi sore kami kumpulkan memang tidak terlalu banyak tapi ini sama sekali tak menyurutkan hasrat kami untuk merayakan malam ini. 

Sampah yang dikumpulkan di sebuah trash bag kami gunakan sebagai pemantik api lalu mulai kami nyalakanlah kayu-kayu yang agak lembab ini. Awalnya memang kayu susah terbakar tapi dengan perjuangan akhirnya kayu ini mampu terbakar juga. Dan dengan kehangatan dari api yang malu-malu menyala ini tanpa tersadari membuat kami semakin mendekat satu sama lain. Kami duduk melingkari bahan baku pembuat iblis ini dengan segenap kesederhanaan, sesederhana api membakar kayu, sesederhana asapnya yang menghilang di tengah kerumunan udara. 

Aku memandang kuningnya api dan merenung, setelah ini apalagi yang mampu membuatku bahagia? Setiap keheningan yang kurasakan selalu membawa dua muka, muka sebelah kanan tersenyum lebar menampakkan susunan gigi putih yang rata dan mata yang terlihat hanya segaris saat tertawa, lucu dan begitu hangat. Namun muka sebelah kiri memperlihatkan raut wajah yang membuatku iba, yang menyiratkan betapa hening ini seakan telah membangkitkan monster bernama kesepian dan lantas memburunya hingga ia tertangkap, tercabik-cabik, terburai segala isi tubuhnya ke segala arah. 

Setiap saat aku bertemu dengan keheningan dan aku sadar bahwa kebahagiaan atau kesepian yang mengikutinya adalah tentang bagaimana kita memandang keheningan itu sendiri. Tentang bagaimana mengubah keheningan yang terlalu identik dengan kesepian menjadi sesuatu yang cerah berwarna-warni. Caraku adalah dengan mensyukuri apapun yang aku alami dan rasakan saat ini, menolak mengeluh dan mengkambing hitamkan keadaan. Mengubah murung menjadi senyuman, kebencian menjadi kasih sayang, dan amarah menjadi kelembutan. Niscaya tanpa disengaja, kebahagiaan akan menghampiri begitu saja.  Mungkin seperti setiap kopi soreku, yang sejatinya terasa pahit tapi aku memilih menikmatinya dengan menambah gula agar aku tetap mampu merasakan kelezatan kopi tanpa menghilangkan aroma khasnya, pun juga dengan rasa pahit itu sendiri.

Seperti efek domino, jika aku sadar akan satu hal maka slalu akan membukakan mataku akan hal lainnya. Ternyata aku tak pernah sendiri di jagad semesta ini. Tuhan selalu bersamaku, begitu juga bapak ibu dan mbak-mbakku, serta  sahabat-sahabatku yang saat ini sedang di sekelilingku menemani dan merayakan kesederhanaan ini. Dengan senyum renyah nan riuh, kami bahagia yang datang begitu saja. 

Api lambat laun semakin redup, menandakan sebentar lagi akan padam sementara persediaan kayu kami sudah habis. Biarkan saja gelap ini semakin menggulita namun hati kami berenam tetaplah benderang. Terserah jika dingin ini berkenan menembus tulang, namun perasaan kami tetaplah hangat. Cahaya temaram dari lampu senter yang kubeli ditoko loak menasehatiku supaya aku lekas tidur dan bermimpi indah, tapi aku tetap ngeyel tak mau tidur dulu, sayang sekali jika perasaan bahagia yang masih tersisa ini kupadamkan dengan tidur. Aku bilang kepadanya bahwa aku masih ingin merenung dan berimaji. Mungkin tak sampai lima menit Toh akhirnya aku tertidur juga. Lampu senterku tertawa puas.
                       
                                     ***************************


Terdengar suara kaki melangkah dan orang mengobrol berulang-ulang silih berganti. Aku penasaran sebenarnya jam berapa ini, diluar masih gelap tapi kenapa banyak orang lalu lalang. Jam tanganku menunjukkan sekarang masih jam 4 pagi. Beberapa orang akan melakukan summit attack ke puncak tapi ada juga yang hanya ingin menikmati sunrise di hutan mati. Kabut tebal masih menyelimuti area ini ketika aku melongok keluar dome dan tentunya dingin ini membuatku ingin meringkuk lagi didalam sleeping bedku. Sebenarnya kamipun berencana untuk menikmati sunrise di hutan mati tapi melihat teman-teman sedang pulas aku pesimis rencana ini akan terlaksana. 

Sekitar jam 5 Ari dan Winda bangun untuk melakukan sembahyang, akupun sama. Kemudian aku keluar dari tenda untuk sekedar menikmati kabut pagi yang masih tebal ini. Kucoba mengeluarkan nafas dari mulut dan tercipta asap seperti orang sedang merokok. Selalu seperti itu jika aku sedang ditempat tinggi. Kami duduk didepan tenda beralaskan matras sambil menikmati cemilan yang tersisa. Seperti biasa kami mengobrol ini itu tapi seperti biasa juga ujung-ujungnya akan berbincang masalah pekerjaan, khususnya suka duka hidup diduna tambang…halahhhhh.. Ini kan lagi liburann!

Rencana terakhir kami adalah masak-memasak lagi!

Ucok yang menjabat sebagai kepala chef menawarkan menu indomi goreng plus telor dadar plus omelet minus nasi. Kami yang lain mah setuju-setuju saja lah orang tinggal makan saja kok. Aku tetap pada pendirianku untuk konsisten sebagai pemirsa yang budiman. Skip..skip..skip akhirnya jadi juga menu sarapan kami di hari terakhir ini.

Buah karya Ucok yang musti kami santap pagi ini

Trio Lingua (Aku, Udin, dan Ari) tetap mengambil sikap kebersamaan dan gotong royong dalam makan. Kami se-nasting bertiga. Ari yang katanya tadi sudah sangat kelaparan malah tak kuat lagi untuk memasukan sesuap mie kedalam mulutnya, Udin tak terlalu hobi makan, tinggalah semua ini jadi milikku. Kusulap nasting ini yang tadinya berisi sekarang menjadi kosong. Lumayan kenyang untuk melanjutkan perjalanan turun kembali ke Jakarta.

Suasana setelah sarapan

Menjelang pukul 10 pagi kami mulai membereskan barang-barang. Tenda kami lepas dan lipat, sampah kami ambil dan memasukkannya ke dalam trash bag yang musti kami bawa sampai basecamp kemudian dibuang di tempat sampah sana. Kami juga harus melakukan re-packing lagi dengan benar supaya semuanya menjadi mudah. 

Inilah view dari tenda kami

Setelah semuanya beres, para serdadu bersiap untuk turun gunung. Namun seperti biasa sebelum berjalan kami tak akan pernah lupa akan sila pertama dari rukun traveling, ya..kami berfoto-foto dulu sampai puas baru kemudian kami lanjutkan perjalanan ini. Ditemani cuaca yang cukup cerah kami menuruni bukit demi bukit dan akhirnya Aku dan Ari tertinggal oleh keempat temanku lainnya. Cukup jauh kami tertinggal, entah kenapa ini bisa terjadi, mungkin Ari terlalu mendramatisir setiap langkahnya setapak demi setapak. Namun ada kejadian yang mengharukan, si Dhimas dengan rela menunggui kami di tengah jalan. Aku masih tak begitu mengerti kenapa ia menunggui kami padahal jaraknya sudah terlalu jauh. Aku berpikir mungkin saja ia kuatir dengan kami berdua takut ada apa-apa di tengah jalan. Luar biasa Dhimas ini.

Akhirnya sampai juga kami di basecamp dan buru-buru mencapai terminal Guntur mengingat hari sudah semakin siang. Saat kami tiba di terminal semua sepakat untuk mampir dulu disebuah warung yang menjual ayam bakar terletak tepat didepan terminal, aku lupa apa nama warungnya, yang jelas masakannya cukup lezat dan kami menghabiskannya dengan lahap. Tiba-tiba Ari bilang, “ini semua biar aku yang bayar ya, aku yang traktir”. Aku, Ucok, dan Udin tercengang seolah tak percaya apa yang barusaja kami dengar. Ini sungguh peristiwa super duper langka. Seorang Ari mentraktir kami! Semoga amal ibadahmu diterima di sisiNya Ri!

Ari tertangkap kamera sedang tertidur

Puas menyantap makanan kami beranjak untuk mencari bus tujuan Jakarta. Dhimas harus pulang kekotanya yaitu di Cilacap, jadi kami berpisah di sini dengan Dhimas sebab ia langsung menaiki bus tujuan Cilacap. Terima kasih Dhimas untuk akhir pecan yang menyenangkan ini.

Kami berlima menaiki bus yang sama dengan yang kami naiki saat berangkat, bus Wanaraja. Kami nikmati perjalanan pulang ini walaupun sesekali terlintas dalam pikiran bahwa besok adalah hari senin. 

Di tengah perjalanan Ari minta diturunkan di pintu tol Cikunir Bekasi karena disitulah dia akan dijemput dengan Mas Anta, senior dijurusannya sekaligus teman kos pertamaku di jogja dulu (tapi sama sekali aku tak pernah bertegur sapa dengan orang ini). Hati-hati Ri, semoga tak ada Alien yang menculikmu di pinggiran tol seperti ini. Terima kasih sudah mau berbagi energi dengan kami.

Tinggalah kami berempat yang melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, terminal kampung rambutan. Dan akhirnya kami sampai juga di lokasi, Winda pulang dengan menaiki taksi, Ucok naik angkot, aku dan Udin naik taksi juga karena sudah kecapekan. Kami berpisah. Terima kasih Ucok, Winda, dan Udin telah memberi warna dalam liburan kali ini.

Usai sudah liburan yang sungguh berkesan ini. Pendakian yang selalu mengajarkanku tentang ilmu kehidupan seperti kesederhanaan dan kerendah hati, juga menyadarkan aku bahwa masih banyak orang yang menegaskan kalau aku ini hidup dan berarti bagi mereka. Tiada yang lebih berarti dari perjalanan bersama sahabat terbaik.

Bagi banyak orang, bepergian adalah tentang tujuan atau destinasi yang terjauh, terunik, dan terjarang dikunjungi orang lain. Pun banyak juga yang berangggapan bahwa traveling adalah pembuktian akan keeksistensian dan tingkat kebahagiaan yang sedang dicapai. Tak ada yang salah dengan anggapan itu. Namun aku tetap punya pendapat sendiri tentang apa itu perjalanan, apa esensinya, apa makna dan hal yang bisa aku ambil dari rangkaian perjalanan itu. Bukan tujuan, point, atau tempat tertentu yang aku utamakan, tapi perjalanan itu sendiri yang sering aku ambil saripati pelajaran dan tentu saja sangat cocok jika diterapkan di kehiduoan sehari-hari. Bahwa proses perjalanan itulah yang menyadarkanku akan Tuhan dan segala hal yang tak terselesaikan oleh pemikiranku, proses itulah yang menegaskan bahwa kesederhanaan yang dibalut dengan keremehtemehan persahabatan adalah hal termahal dari seluruh rangkaian perjalanan itu. Tak peduli seberapa dekat atau jauh tempat yang akan kukunjungi, asal sahabatku mampu aku genggam keresahannya ataupun keriangan hatinya. 

Bagiku, perjalanan adalah sang guru agung pemeberian Tuhan. Meskipun begitu, Aku masih sering melewatkan pelbagai hal yang diajarkan oleh sang guru agung itu. Di ujung jalan perjalanan aku sering mengeluh “kenapa aku melewatkan hal ini dan itu”, akupun selalu berjanji dengan diriku sendiri bahwa perjalanan mendatang aku akan merayakan dan menikmati apa saja yang datang menghampiriku meski itu sangat sepele, selalu begitu setiap akhir perjalanan yang aku lalui. Bersyukur namun selalu ingin lebih di kemudian hari. Tidak salah kan?







Terima kasih teman atas cerita sederhana ini :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar