Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memahami Kasih Sayang Gunung Belerang, Papandayan (Part 2)

Selepas sholat, kami segera menawar pemilik pick up, dan akhirnya terjadi kesepakatan harga sebesar 180 ribu tanpa harus menunggu pick up tersebut penuh oleh penumpang lain. Muatan kami segera dinaikkan dan kami duduk bersila berdekatan satu sama lain. Untungnya di rombongan ini ada seorang Ari yang ceriwis, suka cerita dan suka ngobrol. Tingkahnya ini membuat perjalanan ini tak garing. Ucok dan Ari ini sangat nyambung memang. Mereka suka saling ejek-mengejek, cela-mencela, rayu-merayu sepanjang naik pick up ini. Kami yang lain hanya tertawa saja, sesekali Dhimas ikut menimpali juga. Winda ikut tersenyum tanpa keluar sepatah katapun dari mulutnya. Aku yang pendiam dan suka ngguya-ngguyu dewe sering terpingkal-pingkal juga melihat polah teman-temanku ini. 

Sang srengenge mulai beranjak bangun dari tidurnya, pelan-pelan merangkang dari balik gunung Cikuray di ufuk timur terjauh. Nuansa oranye mewarnai bentangan langit yang menambah dramatis pagi ini. Indah dan mendamaikan. Kami semua terpesona. Saat yang lain sibuk mengabadikan secuil surga ini, aku hanya tertegun memperhatikan pemandangan yang tak henti-hentinya mengalah telakkan segala keangkuhanku sebagai manusia. Bagi-Nya seharusnya aku ini hanya seperti aku melihat seekor kuman, tak dianggap dan tak diperhitungkan. Namun Dia tidaklah sejahat itu. 

Kerucutnya gunung Cikuray

Pick up berhenti di sebuah pos, dhimas Ucok dan Udin turun untuk registrasi serta pelaporan personil rombongan pendakian. Sementara itu pick up tetap melaju menuju parkiran basecamp. Kami disambut oleh cadasnya lereng-lereng bukit belerang yang berwarna kuning keemasan akibat terjangan sinar matahari pagi. Aku sekali lagi dibuat takjub akan semua ini. 

Ari mengajak kami untuk mengisi perut sebelum melakukan pendakian. Kami memang tak perlu susah-susah untuk mencari warung karena di tempat parkir basecamp yang begitu luas dikelilingi oleh warung-warung sederhana menjajakan makanan ringan dan nasi goreng. Ari yang dewa naga dalam perutnya sedang membutuhkan energy, segera memesan nasi goreng untuk kami berenam.

Disela-sela makan, Ibu penjual yang ramah sesekali bercerita tentang kondisi Papandayan dari masa ke masa. Kemudian aku bertanya, “apa setiap akhir pekan selalu rame kayak gini ya bu?”

“Iya rame, kebanyakan yang ndaki itu teh dari Jakarta” Jawab Si ibu dengan logat sunda yang kental.

“Oiya bu, katanya kemarin ada anak ITB yang ilang ya? Udah ketemu belom sih?” tanyaku penasaran.

“Iya, dia ndaki sendiri tapi bukan lewat jalur ini, dia lewat Pengalengan Bandung. Ini anak dan suami saya lagi ikut tim SAR, udah seminggu tapi belum ketemu. Kemarin tasnya ditemuin, tapi dalam keadaan kebuka, kata temennya sih yang nggak ada di tasnya itu Cuma HP, GPS sama botol minum”

“Wah, kasihan ya bu. Kalau ndaki sendiri emang gede resikonya” selorohku.

Menurut pengakuan Si Ibu, pendakian dari basecamp ke Tempat kita ngecamp nanti, di Pondok Salada, hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Jika tanpa foto-foto mungkin malah bisa satu jam saja katanya. Cukup dekat juga rupanya. Akhirnya, usai sudah pembicaraan kami dengan ibu itu, kami pergi setelah membayar makanan.

Perjalanan ini akan segera dimulai. Perjalanan yang sudah tak pernah kulakukan sejak dua tahun lalu dengan sahabat yang sama, dengan kehangatan yang sama. Walaupun gunung ini tak cukup tinggi tapi aku tetap bersemangat. Paling tidak, gunung ini menjadi gunung loncatan sebelum kumulai perjalanan ke gunung-gunung yang lebih tinggi lainnya. Dengan kawan-kawan lama ku plus kawan baru, aku mulai melangkahkah kaki menelusuri kemiringan jalan menuju indahnya Papandayan. Untungnya tak ada satupun yang manja, kecuali Ari yang terkadang timbul rasa ingin dilindungi oleh lelaki. Wajar sih sebagai perempuan single. Hahaha

Di awal perjalanan kami masih ceria

Sekian menit kami lalui bersama di sepanjang jalan ini, nafasku mulai terengah-engah. Paru-paruku seperti sedang ditekan oleh sesuatu, sesak dan sempit. Keringat mulai mengucur seperti keran air yang terbuka. Yang awalnya kami masih sempat bercanda, sekarang hening terdiam menyadari betapa tubuh ini sudah tak terbiasa dengan kondisi jalan terjal. Aku pura-pura kuat dan kutunjukkan mimik muka yang biasa saja, seolah-olah ini tak ada apa-apanya, padahal otot-otot ku sudah menuntut keras meminta istirahat. Maklum, ini harus kulakukan demi menjaga reputasiku sebagai pria jantan di depan para perempuan. Kulihat Winda seperti tak kelelahan, mungkin dia juga hobi trekking dan naik gunung. Sebenarnya aku juga butuh istirahat, tapi Ari yang cukup banyak meminta berhenti beristirahat akhirnya menjadi keuntungan juga bagiku. Aku tak perlu menurunkan kehormatanku dengan meminta berhenti. hahaha

Ucok dan Udin memimpin barisan, tapi lama kelamaan terjadi gap yang sangat jauh denganku, Ari, Dhimas, dan Winda. Bukan hanya kelelahan yang menyebabkan ini, tapi juga Ari dan Winda yang selalu minta foto di setiap spot menarik. Celakanya, hampir semua spot sepanjang perjalanan ini menarik. Untunglah ada Dhimas yang dengan kerelaan hati bersedia untuk menjadi tukang foto bagi mereka berdua dan juga aku. 

Matahari mulai menaburkan sinar Ultra violet kesegala penjuru. Kupakai kacamata hitam safetyku yang kubeli saat aku bekerja di lapangan. Sekarang silaunya sinar mentari mampu kureduksi. Namun Bau-bau seperti kentut manusia mulai tercium. Kukeluarkan dan kupakai maskerku. 

Berjalan menapaki bebatuan hangat

Tanah merah keputihan yang gersang, disamping jalan mengalir sungai kecil yang airnya adalah air mendidih, batu-batu karang yang keras dan hangat. Seperti inilah kondisi sepanjang perjalanan. Kami meresapi perjalanan kami seolah-olah kami adalah frodo baggins dan sahabat setianya, samwise, dan juga dipandu oleh babu yang sangat licik bernama golum berjuang menuju mordor untuk mengahcurkan cincin keparat pembawa malapetaka di minas morgul, tempat bersemayamnya sauron. Tapi, siapa yang mau disamakan dengan golum?! Para ork yang mengejar-ngejar kami hingga membuat kami tak mampu lagi berjalan, kami berharap akan bantuan sang penyihir putih, Gandalf. Namun beliau tak kunjung muncul. Alih-alih dia datang, justru yang paling tak diharapkanlah yang muncul. Saruman, si penyihir putih yang membelot, tiba-tiba hanya terpaut sekian meter dari kami. Ketakukan kami semakin menjadi-jadi. Siapa lagi yang mampu diharapkan? Aragorn? Tak mungkin. Dia hanya manusia biasa yang rasnya adalah ksatria, sedangkan kami butuh keajaiban yang tak mampu dilakukan manusia. Bangsa peri? Mana mau mereka meninggalkan kahyangannya demi menolong kurcaci jelek seperti kami ditempat seburuk ini. Lantas siapa yang mampu menolong. Oh,, aku ingat, kenapa tak pakai saja cincin ini?! Cincin ini kan penuh dengan kekuatan maha dahsyat. Oke, kupakai saja cincin ini!

Seketika langit berubah biru, matahari bersinar terang, tak nampak lagi Saruman dan para orksnya, gunung api dan menara minas morgul lenyap seketika. Aku kembali kedunia nyata, di gunung belerang, Papandayan. (Bro en sis, yang ini udah mulai ngelantur banget deh). 

Kami tiba di sebuah dataran yang disamping kirinya terdapat sebuah kawah. Asap putih yang mengepul membuat pemandangan gunung ini semakin eksotis, namun didepan kami adalah bukit yang menanjak terjal. Walaupun terlihat ujung jalan di ketinggian tapi tetap saja rute menanjak ini akan merepotkan kami. Bukan naik gunung namanya kalau tak pernah mengalami tanjakan terjal, bukan hidup namanya kalau tak pernah mengalami lika-liku dan terjalnya masalah yang menghantam. Kukencangkan ikatan sandalku, kubenarkan letak tas ranselku, dan ku upgreid segenap tenaga dalamku. Mari mulai menanjak kawan. Ini lah trekking.

Pohon-pohon semak setinggi badan dengan dedaunan hijau nan cantik menutup pandangan kami. Ujung jalan inipun mulai tak nampak. Kami terus berjalan dan berjalan walaupun nafas kami mulai habis tercuri oleh otot-otot didalam tubuh ini. Aku yakin otot-otot ku ini amatlah terkejut akan kegiatan yang kupaksakan kepadanya, namun pasti dia cerdik untuk mengatasi segala beban berat yang menghujamnya. Ari meminta berhenti beberapa kali karena kelelahan yang melanda. Akupun sebenarnya sama capeknya dengan Ari, namun selalu kutunggu Ari untuk meminta rombongan beristirahat agar aku tidak terlihat cupu. Hahaha. Aku yakin semua juga sebenarnya sama dengan yang aku rasakan. Ckck

Saat memberi ruang nafas bagi paru-paru kami

Ucok dan Udin seperti biasa mulai berjalan tanpa mau menunggu kami yang sedang duduk istirahat. Ucok berpendapat, jika dia terus berhenti justru dia akan semakin capek. Dia memang harus mengikuti ritme berjalannya yang secara alami cukup cepat. Nhah jika ritme berjalan cepatnya buyar maka hanya kelelahan (hatinya) lah yang melanda. Derau yang membuatku resah dan gundah gulana membuatku semakin tak bisa mengatur irama nafasku. Padahal baru berapa langkah saja tapi sudah setakberdaya ini. Kemana perginya tenaga-tenagaku yang dulu begitu membabi buta?! Aku kemudian membatin “Aku ini bertubuh pria, tapi berstaminakan wanita”. 

Ada yang aneh, kenapa Ari saat berjalan selalu dekat-dekat denganku. Kalau tak didepanku maka dia di belakangku. Ada apa ini? Apa dia sedang memata-mataiku? Mungkinkah dia kesengsem dengan paras rupaku yang menawan dan mempesona? Ataukah dia sengaja menggodaku untuk menjadi fans nya? Ternyata oh ternyata, semua tebakan asal-asalanku meleset. Dia tahu kalau aku ini punya speed yang lamban saat mendaki. Dia memanfaat kelemahanku dengan selalu berada di dekatku agar tak ketinggalan jauh saat menghadapi jalan terjal dan curam macam ini. Sungguh terlalu mahluk ini, suka memanfaatkan kelemahan orang lain! (padahal aku juga berterima kasih karena dia suka meminta kami berhenti beristirahat) 

“Auuuuuuuuuuuu” teriak Ucok dan Udin dari atas sana.

“Pye din, wes tekan?” Balasku.

“Ndang rene, bonus kii” jawab Udin.

Aku, Ari, Winda, dan Dhimas yang sedang leyeh-leyeh menikmati semilir angin direrimbunan pohon semak segera bangkit dari duduk dan bergegas untuk melanjutkan pengembaraan ini. Semangat kami kembali menyala-nyala mendengar teriakan Udin dan Ucok tadi, meskipun entah itu teriakan penuh kepalsuan agar kami kembali semangat atau memang mereka benar-benar telah sampai. Kupaksana saja ototku yang telah meronta-ronta kecapekan agar cepat sampai tujuan. Dan ujung jalan ini semakin dekat. Rasa penasaranku membuncah ingin tahu apa yang sebenarnya sengaja disembunyikan oleh bukit belerang itu.

Langkah terakhir untuk sampai di ujung bukit, tiba-tiba aku dihantam oleh pemandangan yang cukup asing namun mempesona. Hutan mati membentang luas dari utara ke selatan. Bangkai-bangkai pohon yang tak berdaun masih pada posisi semula layaknya pohon-pohon yang hidup lainnya. Konon, disini dulunya hutan lebat kemudian sekitar tahun 2000an gunung meletus dan mengeluarkan lava yang mengenai kawasan hutan ini. Ajaibnya, hanya daunnya saja yang rontok, pohon masih berdiri kokokh diatas tanah yang memutih khas pegunungan belerang. Sangat eksotis memang. 

Pengamalan sila pertama rukun traveling di hutan mati

Langit biru dan lereng-lereng gunung yang memutih adalah suatu kekontrasan yang menambah indah dan menyempurnakan pemandangan ini. Kami tak mau menyia-nyiakan panorama cantik disini. Maka dengan penuh senyuman takjub kami semua mulai berfoto-foto ria ke segala arah. Kami seperti di dunia entah berantah yang semua mahluk hidup telah binasa karena bencana alam yang dahsyat. Misterius namun jelita, penyendiri nan sunyi. Sayangnya, saat ini para pendaki cukup ramai di spot hutan mati ini. Kesunyianpun menjadi berkurang. 
Sunyinya Hutan Mati

Kami berlama-lama disini, seolah tak akan pernah puas jika belum memotret setiap spot yang ada. Tapi kita harus tetap MOVE ON dari kenangan masa lalu.. eh maksudnya move on dari tempat indah ini. Hutan mati ini tak lazim digunakan sebagai tempat mendirikan tenda. Berjalanlah kami ditengah-tengah kemisteriusan ini hingga sampai daerah hijau, daerah yang sudah ditumbuhi pohon atau tanaman lebat. Kami seperti kembali ke dunia nyata. Sesekali kami melewati tanaman edelweiss yang sedang berbunga. Indah, cantik jelita. Sudah berapa kali kata “indah” kutulis? Entahlah. 

Akhirnya kami tiba di sebuah area yang memang lazimnya digunakan untuk camping atau mendirikan tenda. Pondok salada nama tempatnya. Aku tak tahu cikal bakal pemberina nama “pondok salada” ini. Kalau aku boleh menebak, mungkin dulunya disini penuh dengan tanaman selada, sekarang tak satupun dijumpai tanaman sayuran tersebut. Tapi ini cuma tebakanku yang tak berdasar.  

Dari kejauhan, pondok salada sudah dipenuhi oleh tenda-tenda pendaki. Rupa-rupanya perkiraanku benar, tempat ini bakal seperti pesta penggalang pramuka, lebih mirip dengan bumi perkemahan. Sebenarnya kami lebih suka jika tempat kita bermalam tak banyak orang, sunyi dan hening layaknya pendakian-pendakianku dulu semasa kuliah. Tapi tak apalah, maklum warga Jakarta sepertiku ini tak banyak punya alternatif wisata outdoor semacam ini. Kutekan perasaan menggerutuku dan kuubahnya menjadi rasa sukacita.

Ucok, Aku dan Udin memilah-milah tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Ada sebuah area yang dilindungi oleh satu buah pohon, agak lapang dan viewnya ke arah puncak papandayan juga sangat bagus. Maka dipilihlah disini lokasi pendirian tendanya, meskipun terletak di cekungan, Nanti kami akan siasati dengan membuat jalan air yang berfungsi saat hujan tiba. Para cowok mulai mengeluarkan frame dan tenda itu sendiri kemudian membentuknya menjadi sebuah kubahan. Angin kencang sungguh menghambat kami karena kubahan tenda sesekali terhempas berguling-guling terkena terjangan angin ini. Kami mengerjakannya dengan penuh seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hal-hal yang mengenai kenyamanan dan kerapihan tenda boleh ditiadakan. Kami anggap mendirikan tenda ini sebagai latihan sebelum mendirikan rumah tangga yang sebenarnya. Halah! 

Mendirikan tenda sebagai latihan mendirikan rumah tangga

Perjuangan kami bahu-membahu, menyimpan pilu, hingga keringat keluar tak tersaru, akhirnya menorehkan hasil. Dua tenda mampu berdiri juga. Satu tenda untuk dihuni oleh para cowok, sedangkan yang satunya di tempati oleh Ari dan Winda. Aku kira ini tidak adil! Yang satu untuk 4 orang yang satunya lagi untuk dua orang, dimana letak keadilan? Harusnya ke 6 orang dibagi rata menjadi masing-masing 3 orang untuk tiap dome. Aku rela dengan sepenuh hati jika musti dibarengkan dengan Ari dan Winda. Tapi mereka tak mau bareng lelaki, beda kelamin katanya. Lha terus, dimana letak kesetaraan gender yang selalu diagung-agungkan oleh kaum perempuan? Kalau kaum mereka sedang tertindas oleh pria saja langsung berkoar-koar “dimana letak kesetaraan gender? Wanita juga mampu melakukan apa yang dilakukan pria,  bla-bla-bla”. Ah, hidup..

Kudengar ada semacam sumber air disekitar sini. Maka aku dan Ucok serta Udin mencarinya. Ternyata ketemu, sebuah pipa-pipa yang dibikin oleh seseorang berfungsi sebagai jalan air dan pancuran. Disampingnya terdapat sebuah jamban untuk kencing saja, kalau berak belum bisa. 

Badan kami terasa pegal-pegal dan butuh istirahat sejenak. Kami bertiga kembali ke tenda, mengeluarkan matras dan menggelarnya di bawah rerimbunan pohon. Kami berenam kemudian duduk lesehan sambil menikmati hembusan sepoi-sepoi dedaunan diatas kami. Berbagai makanan ringan ikut dikeluarkan guna menyemarakkan leyeh-leyeh ini. Kami kemudian saling bercerita ngalor ngidul perihal urusan apapun. Terkadang kami membahas pekerjaan kami masing-masing, terkadang kenangan-kenangan kami juga ikut muncul dalam obrolan sederhana ini. Sambil menikmati renyahnya snack sesekali tawa kecil kami ikut mengembang sejalan dengan kicauan lucu Ari yang muncul tanpa dibuat-buat. Aku sudah lupa detail pembicaraan itu, namun kelucuan dan kesederhanaanya masih aku rasakan hingga aku menulis cerita ini. 

Disela-sela ngobrol ngalur-ngidul kulihat ada ramai-ramai para pendaki di tengah tanah lapang. Ini membuatku penasaran, “sebenarnya ada apa ini? Apakah ada konser JKT 48 disini?”. Dan tiba-tiba munculah didepan mataku seorang Nabilah JKT48 dengan rok mini dan T-shit super ketat sambil tersenyum menunjukkan gigi gingsulnya yang minta digigitin itu. Bercanda pemirsahh, sebenarnya ramai-ramai tersebut diakibatkan oleh puluhan butir bakso hangat ditaburi saos pedas di cuaca dingin seperti ini. Tak pelak para pendaki menyerbunya. Tapi siapa yang repot-repot membawa bakso di tengah gunung macam ini? Ternyata penduduk setempatlah yang tega menodai cerita pendakian kami dengan memikul gerobak bakso jauh-jauh sampai di sini. Tak lucu juga jika kami bercerita kepada sahabat kami tentang pendakian gunung ini. “Bro bro, gue kemarin naik gunung capek banget, terjal banget ampe ngos-ngosan mau mati, tapi bro pas kita nge-dome ternyata ada yang jualan bakso. Sakit nggak bro kalo jadi gue? harusnya di bikin foocourt aja sekalian ya bro biar asupan gizi para pendaki tercukupi”

Sekitar ba’dha dhuhur kami berencana untuk melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun. Kabarnya di Tegal Alun banyak tanaman edelweiss yang tumbuh. Si Ucok sempat tak bersemangat untuk melanjutkan perjalanan dan minta posisi ketua rombongan digantikan oleh aku atau Udin. Terang saja aku tak mau, aku tak merasa sanggup bertanggung jawab atas keselematan semua personil, dan tentunya feelingku dalam memimpin rombongan di tengah belantara hutan tak sehebat si Ucok. Ternyata bukan saja aku yang menginginkan Ucok ikut, tapi semua juga sepakat dengan pendapatku ini. Akhirnya dia mau ikut juga. 

Kami bawa barang seperlunya saja dan sisanya kami tinggal di dome. Semua barang yang diperlukan tersebut dimasukkan kedalam tasku, sementara seluruh dome beserta isinya kami titipkan kepada penghuni tenda sebelah kami. Kenapa kami percaya? Ya inilah hubungan antar sesama pendaki yang baru kenal sekalipun. Kami seolah telah mempunyai sebuah ikatan yang kami tak bisa gambarkan, seolah-olah ikatan ini telah terjalin sangat lama padahal kami baru kenal saat itu juga. Aku sering menyebutnya “guyup cah ndaki”.

Kami mulai pendakian ini, kembali melalui hutan mati untuk kemudian mengambil arah lereng bukit. Menurut cerita, perjalanan kali ini membutuhkan waktu setidaknya sekitar dua jam jika perjalanan dilakukan dengan santai. Setelah hutan mati kami mulai memasuki hutan lebat yang menanjak. Dengan semangat tinggi kami melangkahkan kaki dengan mantap, namun lama-lama seperti biasa aku mulai kelelahan. Sekedar info saja, disini cuma aku yang membawa tas daypackku, yang lain membawa diri beserta segala dosa-dosanya. Dan seperti biasa aku gengsi untuk meminta berhenti, kutunggu Ari untuk mengeluarkan kalimat saktinya “Cok, berhenti dulu cok, istirahat.” Dalam hatiku “Ya Tuhan terima kasihhh  akhirnya istirahat juga”.

Almost terengah-engah Barely cengangas-cengenges

Sesekali kami temui bonus. Jika tak tahu bonus itu apa, bonus adalah istilah bagi para pendaki untuk menamai jalan yang mempunyai slope sebesar 0%, tak naik maupun turun. Jika diterapkan dijalanan Jakarta maka seluruh jalanan Ibu kota adalah bonus semuanya. Namun kurasa 90 % jalan yang kami lalui berkontur menanjak, seperti jalan menembak gebetan, selalu menanjak dan berat. Abaikan tulisan ini. 

Kurang lebih 45 menit kami bersusah payah mengalahkan diri kami sendiri untuk berjalan di curamnya lereng bukit ini. Kami melihat cahaya terang yang menandakan tanjakan ini akan segera berakhir dan dataran yang luas akan menyambut. Dan benar saja, seluas dataran bertaburkan bunga-bunga edelweiss putih serta berlatarkan bukit hijau bertubi-tubi menghajar kami tanpa sedikitpun ampun. Oh Tuhan, sungguh cantik jelita ciptaanMu ini. 

Tegal Alun ini mengingatkanku akan sebuah tempat yang tak kalah indah, lembah mandalawangi di Gunung Pangrango. Saat ini, cuma kami yang berdiri di atas tanah lapang ini. Kesunyian lembah ini selalu menyadarkanku akan cinta dan kasih sayang dari alam kepada manusia. Seperti kata Gie dalam puisinya untuk Mandalawangi bahwa kita dan alam ini begitu berbeda dalam segala hal kecuali dalam cinta dan kasih sayang. Di tempat seperti inilah selalu kurasakan dekatnya aku kepada Tuhan. Seolah Tuhan adalah udara yang aku hirup, pemandangan yang aku lihat, darah yang mengalir dalam vena, atau denyut nadi yang berdetak. Dialah yang menciptakan segalanya ini dengan kasih sehingga terciptalah alam yang juga mengasihi mahluk hidup yang mendiaminya. Seharusnya mahluk hidup khususnya manusia mampu menjalin kasih sayang dua arah dengan alam. Namun yang terjadi sekarang adalah para manusia bejat bin keparat tega merusak hutan beserta segala isinya demi isi perut juga isi celana dalamnya. Semoga aku dan sahabatku tak melakukan kesalahan-kesalahan prinsipal semacam itu.

Do you see it? This scenery called "The beauty of God"

(Ceritanya belum habis, masih berlanjut di Part 3)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar