Selepas sholat, kami segera menawar
pemilik pick up, dan akhirnya terjadi kesepakatan harga sebesar 180 ribu tanpa
harus menunggu pick up tersebut penuh oleh penumpang lain. Muatan kami segera dinaikkan
dan kami duduk bersila berdekatan satu sama lain. Untungnya di rombongan ini
ada seorang Ari yang ceriwis, suka cerita dan suka ngobrol. Tingkahnya ini
membuat perjalanan ini tak garing. Ucok dan Ari ini sangat nyambung memang.
Mereka suka saling ejek-mengejek, cela-mencela, rayu-merayu sepanjang naik pick
up ini. Kami yang lain hanya tertawa saja, sesekali Dhimas ikut menimpali juga.
Winda ikut tersenyum tanpa keluar sepatah katapun dari mulutnya. Aku yang
pendiam dan suka ngguya-ngguyu dewe sering terpingkal-pingkal juga melihat
polah teman-temanku ini.
Sang srengenge mulai beranjak bangun dari
tidurnya, pelan-pelan merangkang dari balik gunung Cikuray di ufuk timur
terjauh. Nuansa oranye mewarnai bentangan langit yang menambah dramatis pagi
ini. Indah dan mendamaikan. Kami semua terpesona. Saat yang lain sibuk
mengabadikan secuil surga ini, aku hanya tertegun memperhatikan pemandangan
yang tak henti-hentinya mengalah telakkan segala keangkuhanku sebagai manusia.
Bagi-Nya seharusnya aku ini hanya seperti aku melihat seekor kuman, tak
dianggap dan tak diperhitungkan. Namun Dia tidaklah sejahat itu.
Kerucutnya gunung Cikuray |
Pick up berhenti di sebuah pos, dhimas
Ucok dan Udin turun untuk registrasi serta pelaporan personil rombongan
pendakian. Sementara itu pick up tetap melaju menuju parkiran basecamp. Kami
disambut oleh cadasnya lereng-lereng bukit belerang yang berwarna kuning
keemasan akibat terjangan sinar matahari pagi. Aku sekali lagi dibuat takjub
akan semua ini.
Ari mengajak kami untuk mengisi perut
sebelum melakukan pendakian. Kami memang tak perlu susah-susah untuk mencari
warung karena di tempat parkir basecamp yang begitu luas dikelilingi oleh
warung-warung sederhana menjajakan makanan ringan dan nasi goreng. Ari yang dewa
naga dalam perutnya sedang membutuhkan energy, segera memesan nasi goreng untuk
kami berenam.
Disela-sela makan, Ibu penjual yang ramah
sesekali bercerita tentang kondisi Papandayan dari masa ke masa. Kemudian aku
bertanya, “apa setiap akhir pekan selalu rame kayak gini ya bu?”
“Iya rame, kebanyakan yang ndaki itu teh
dari Jakarta” Jawab Si ibu dengan logat sunda yang kental.
“Oiya bu, katanya kemarin ada anak ITB
yang ilang ya? Udah ketemu belom sih?” tanyaku penasaran.
“Iya, dia ndaki sendiri tapi bukan lewat
jalur ini, dia lewat Pengalengan Bandung. Ini anak dan suami saya lagi ikut tim
SAR, udah seminggu tapi belum ketemu. Kemarin tasnya ditemuin, tapi dalam
keadaan kebuka, kata temennya sih yang nggak ada di tasnya itu Cuma HP, GPS
sama botol minum”
“Wah, kasihan ya bu. Kalau ndaki sendiri
emang gede resikonya” selorohku.
Menurut pengakuan Si Ibu, pendakian dari
basecamp ke Tempat kita ngecamp nanti, di Pondok Salada, hanya membutuhkan
waktu kurang lebih dua jam. Jika tanpa foto-foto mungkin malah bisa satu jam
saja katanya. Cukup dekat juga rupanya. Akhirnya, usai sudah pembicaraan kami
dengan ibu itu, kami pergi setelah membayar makanan.
Perjalanan ini akan segera dimulai.
Perjalanan yang sudah tak pernah kulakukan sejak dua tahun lalu dengan sahabat
yang sama, dengan kehangatan yang sama. Walaupun gunung ini tak cukup tinggi
tapi aku tetap bersemangat. Paling tidak, gunung ini menjadi gunung loncatan
sebelum kumulai perjalanan ke gunung-gunung yang lebih tinggi lainnya. Dengan
kawan-kawan lama ku plus kawan baru, aku mulai melangkahkah kaki menelusuri
kemiringan jalan menuju indahnya Papandayan. Untungnya tak ada satupun yang
manja, kecuali Ari yang terkadang timbul rasa ingin dilindungi oleh lelaki.
Wajar sih sebagai perempuan single. Hahaha
Di awal perjalanan kami masih ceria |
Sekian menit kami lalui bersama di
sepanjang jalan ini, nafasku mulai terengah-engah. Paru-paruku seperti sedang
ditekan oleh sesuatu, sesak dan sempit. Keringat mulai mengucur seperti keran
air yang terbuka. Yang awalnya kami masih sempat bercanda, sekarang hening
terdiam menyadari betapa tubuh ini sudah tak terbiasa dengan kondisi jalan
terjal. Aku pura-pura kuat dan kutunjukkan mimik muka yang biasa saja,
seolah-olah ini tak ada apa-apanya, padahal otot-otot ku sudah menuntut keras
meminta istirahat. Maklum, ini harus kulakukan demi menjaga reputasiku sebagai
pria jantan di depan para perempuan. Kulihat Winda seperti tak kelelahan,
mungkin dia juga hobi trekking dan naik gunung. Sebenarnya aku juga butuh
istirahat, tapi Ari yang cukup banyak meminta berhenti beristirahat akhirnya
menjadi keuntungan juga bagiku. Aku tak perlu menurunkan kehormatanku dengan
meminta berhenti. hahaha
Ucok dan Udin memimpin barisan, tapi lama
kelamaan terjadi gap yang sangat jauh denganku, Ari, Dhimas, dan Winda. Bukan
hanya kelelahan yang menyebabkan ini, tapi juga Ari dan Winda yang selalu minta
foto di setiap spot menarik. Celakanya, hampir semua spot sepanjang perjalanan
ini menarik. Untunglah ada Dhimas yang dengan kerelaan hati bersedia untuk
menjadi tukang foto bagi mereka berdua dan juga aku.
Matahari mulai menaburkan sinar Ultra
violet kesegala penjuru. Kupakai kacamata hitam safetyku yang kubeli saat aku bekerja
di lapangan. Sekarang silaunya sinar mentari mampu kureduksi. Namun Bau-bau
seperti kentut manusia mulai tercium. Kukeluarkan dan kupakai maskerku.
Berjalan menapaki bebatuan hangat |
Tanah merah keputihan yang gersang,
disamping jalan mengalir sungai kecil yang airnya adalah air mendidih,
batu-batu karang yang keras dan hangat. Seperti inilah kondisi sepanjang
perjalanan. Kami meresapi perjalanan kami seolah-olah kami adalah frodo baggins
dan sahabat setianya, samwise, dan juga dipandu oleh babu yang sangat licik
bernama golum berjuang menuju mordor untuk mengahcurkan cincin keparat pembawa
malapetaka di minas morgul, tempat bersemayamnya sauron. Tapi, siapa yang mau
disamakan dengan golum?! Para ork yang mengejar-ngejar kami hingga membuat kami
tak mampu lagi berjalan, kami berharap akan bantuan sang penyihir putih,
Gandalf. Namun beliau tak kunjung muncul. Alih-alih dia datang, justru yang paling
tak diharapkanlah yang muncul. Saruman, si penyihir putih yang membelot,
tiba-tiba hanya terpaut sekian meter dari kami. Ketakukan kami semakin
menjadi-jadi. Siapa lagi yang mampu diharapkan? Aragorn? Tak mungkin. Dia hanya
manusia biasa yang rasnya adalah ksatria, sedangkan kami butuh keajaiban yang
tak mampu dilakukan manusia. Bangsa peri? Mana mau mereka meninggalkan
kahyangannya demi menolong kurcaci jelek seperti kami ditempat seburuk ini.
Lantas siapa yang mampu menolong. Oh,, aku ingat, kenapa tak pakai saja cincin
ini?! Cincin ini kan penuh dengan kekuatan maha dahsyat. Oke, kupakai saja
cincin ini!
Seketika langit berubah biru, matahari
bersinar terang, tak nampak lagi Saruman dan para orksnya, gunung api dan
menara minas morgul lenyap seketika. Aku kembali kedunia nyata, di gunung belerang,
Papandayan. (Bro en sis, yang ini udah mulai ngelantur banget deh).
Kami tiba di sebuah dataran yang
disamping kirinya terdapat sebuah kawah. Asap putih yang mengepul membuat
pemandangan gunung ini semakin eksotis, namun didepan kami adalah bukit yang
menanjak terjal. Walaupun terlihat ujung jalan di ketinggian tapi tetap saja
rute menanjak ini akan merepotkan kami. Bukan naik gunung namanya kalau tak
pernah mengalami tanjakan terjal, bukan hidup namanya kalau tak pernah
mengalami lika-liku dan terjalnya masalah yang menghantam. Kukencangkan ikatan
sandalku, kubenarkan letak tas ranselku, dan ku upgreid segenap tenaga dalamku.
Mari mulai menanjak kawan. Ini lah trekking.
Pohon-pohon semak setinggi badan dengan
dedaunan hijau nan cantik menutup pandangan kami. Ujung jalan inipun mulai tak
nampak. Kami terus berjalan dan berjalan walaupun nafas kami mulai habis
tercuri oleh otot-otot didalam tubuh ini. Aku yakin otot-otot ku ini amatlah terkejut
akan kegiatan yang kupaksakan kepadanya, namun pasti dia cerdik untuk mengatasi
segala beban berat yang menghujamnya. Ari meminta berhenti beberapa kali karena
kelelahan yang melanda. Akupun sebenarnya sama capeknya dengan Ari, namun
selalu kutunggu Ari untuk meminta rombongan beristirahat agar aku tidak
terlihat cupu. Hahaha. Aku yakin semua juga sebenarnya sama dengan yang aku
rasakan. Ckck
Saat memberi ruang nafas bagi paru-paru kami |
Ucok dan Udin seperti biasa mulai
berjalan tanpa mau menunggu kami yang sedang duduk istirahat. Ucok berpendapat,
jika dia terus berhenti justru dia akan semakin capek. Dia memang harus
mengikuti ritme berjalannya yang secara alami cukup cepat. Nhah jika ritme
berjalan cepatnya buyar maka hanya kelelahan (hatinya) lah yang melanda. Derau
yang membuatku resah dan gundah gulana membuatku semakin tak bisa mengatur
irama nafasku. Padahal baru berapa langkah saja tapi sudah setakberdaya ini.
Kemana perginya tenaga-tenagaku yang dulu begitu membabi buta?! Aku kemudian
membatin “Aku ini bertubuh pria, tapi berstaminakan wanita”.
Ada yang aneh, kenapa Ari saat berjalan
selalu dekat-dekat denganku. Kalau tak didepanku maka dia di belakangku. Ada
apa ini? Apa dia sedang memata-mataiku? Mungkinkah dia kesengsem dengan paras
rupaku yang menawan dan mempesona? Ataukah dia sengaja menggodaku untuk menjadi
fans nya? Ternyata oh ternyata, semua tebakan asal-asalanku meleset. Dia tahu
kalau aku ini punya speed yang lamban saat mendaki. Dia memanfaat kelemahanku dengan
selalu berada di dekatku agar tak ketinggalan jauh saat menghadapi jalan terjal
dan curam macam ini. Sungguh terlalu mahluk ini, suka memanfaatkan kelemahan
orang lain! (padahal aku juga berterima kasih karena dia suka meminta kami
berhenti beristirahat)
“Auuuuuuuuuuuu” teriak Ucok dan Udin dari
atas sana.
“Pye din, wes tekan?” Balasku.
“Ndang rene, bonus kii” jawab Udin.
Aku, Ari, Winda, dan Dhimas yang sedang leyeh-leyeh menikmati semilir angin direrimbunan
pohon semak segera bangkit dari duduk dan bergegas untuk melanjutkan
pengembaraan ini. Semangat kami kembali menyala-nyala mendengar teriakan Udin
dan Ucok tadi, meskipun entah itu teriakan penuh kepalsuan agar kami kembali
semangat atau memang mereka benar-benar telah sampai. Kupaksana saja ototku
yang telah meronta-ronta kecapekan agar cepat sampai tujuan. Dan ujung jalan
ini semakin dekat. Rasa penasaranku membuncah ingin tahu apa yang sebenarnya
sengaja disembunyikan oleh bukit belerang itu.
Langkah terakhir untuk sampai di ujung
bukit, tiba-tiba aku dihantam oleh pemandangan yang cukup asing namun
mempesona. Hutan mati membentang luas dari utara ke selatan. Bangkai-bangkai
pohon yang tak berdaun masih pada posisi semula layaknya pohon-pohon yang hidup
lainnya. Konon, disini dulunya hutan lebat kemudian sekitar tahun 2000an gunung
meletus dan mengeluarkan lava yang mengenai kawasan hutan ini. Ajaibnya, hanya
daunnya saja yang rontok, pohon masih berdiri kokokh diatas tanah yang memutih
khas pegunungan belerang. Sangat eksotis memang.
Pengamalan sila pertama rukun traveling di hutan mati |
Langit biru dan lereng-lereng gunung yang
memutih adalah suatu kekontrasan yang menambah indah dan menyempurnakan
pemandangan ini. Kami tak mau menyia-nyiakan panorama cantik disini. Maka
dengan penuh senyuman takjub kami semua mulai berfoto-foto ria ke segala arah.
Kami seperti di dunia entah berantah yang semua mahluk hidup telah binasa
karena bencana alam yang dahsyat. Misterius namun jelita, penyendiri nan sunyi.
Sayangnya, saat ini para pendaki cukup ramai di spot hutan mati ini.
Kesunyianpun menjadi berkurang.
Kami berlama-lama disini, seolah tak akan
pernah puas jika belum memotret setiap spot yang ada. Tapi kita harus tetap
MOVE ON dari kenangan masa lalu.. eh maksudnya move on dari tempat indah ini.
Hutan mati ini tak lazim digunakan sebagai tempat mendirikan tenda. Berjalanlah
kami ditengah-tengah kemisteriusan ini hingga sampai daerah hijau, daerah yang
sudah ditumbuhi pohon atau tanaman lebat. Kami seperti kembali ke dunia nyata.
Sesekali kami melewati tanaman edelweiss yang sedang berbunga. Indah, cantik
jelita. Sudah berapa kali kata “indah” kutulis? Entahlah.
Akhirnya kami tiba di sebuah area yang
memang lazimnya digunakan untuk camping atau mendirikan tenda. Pondok salada
nama tempatnya. Aku tak tahu cikal bakal pemberina nama “pondok salada” ini.
Kalau aku boleh menebak, mungkin dulunya disini penuh dengan tanaman selada,
sekarang tak satupun dijumpai tanaman sayuran tersebut. Tapi ini cuma tebakanku
yang tak berdasar.
Dari kejauhan, pondok salada sudah
dipenuhi oleh tenda-tenda pendaki. Rupa-rupanya perkiraanku benar, tempat ini
bakal seperti pesta penggalang pramuka, lebih mirip dengan bumi perkemahan.
Sebenarnya kami lebih suka jika tempat kita bermalam tak banyak orang, sunyi
dan hening layaknya pendakian-pendakianku dulu semasa kuliah. Tapi tak apalah,
maklum warga Jakarta sepertiku ini tak banyak punya alternatif wisata outdoor
semacam ini. Kutekan perasaan menggerutuku dan kuubahnya menjadi rasa sukacita.
Ucok, Aku dan Udin memilah-milah tempat
yang pas untuk mendirikan tenda. Ada sebuah area yang dilindungi oleh satu buah
pohon, agak lapang dan viewnya ke arah puncak papandayan juga sangat bagus.
Maka dipilihlah disini lokasi pendirian tendanya, meskipun terletak di cekungan,
Nanti kami akan siasati dengan membuat jalan air yang berfungsi saat hujan
tiba. Para cowok mulai mengeluarkan frame dan tenda itu sendiri kemudian
membentuknya menjadi sebuah kubahan. Angin kencang sungguh menghambat kami
karena kubahan tenda sesekali terhempas berguling-guling terkena terjangan
angin ini. Kami mengerjakannya dengan penuh seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Hal-hal yang mengenai kenyamanan dan kerapihan tenda
boleh ditiadakan. Kami anggap mendirikan tenda ini sebagai latihan sebelum
mendirikan rumah tangga yang sebenarnya. Halah!
Mendirikan tenda sebagai latihan mendirikan rumah tangga |
Perjuangan kami bahu-membahu, menyimpan
pilu, hingga keringat keluar tak tersaru, akhirnya menorehkan hasil. Dua tenda
mampu berdiri juga. Satu tenda untuk dihuni oleh para cowok, sedangkan yang
satunya di tempati oleh Ari dan Winda. Aku kira ini tidak adil! Yang satu untuk
4 orang yang satunya lagi untuk dua orang, dimana letak keadilan? Harusnya ke 6
orang dibagi rata menjadi masing-masing 3 orang untuk tiap dome. Aku rela
dengan sepenuh hati jika musti dibarengkan dengan Ari dan Winda. Tapi mereka
tak mau bareng lelaki, beda kelamin katanya. Lha terus, dimana letak kesetaraan
gender yang selalu diagung-agungkan oleh kaum perempuan? Kalau kaum mereka
sedang tertindas oleh pria saja langsung berkoar-koar “dimana letak kesetaraan
gender? Wanita juga mampu melakukan apa yang dilakukan pria, bla-bla-bla”. Ah, hidup..
Kudengar ada semacam sumber air disekitar
sini. Maka aku dan Ucok serta Udin mencarinya. Ternyata ketemu, sebuah
pipa-pipa yang dibikin oleh seseorang berfungsi sebagai jalan air dan pancuran.
Disampingnya terdapat sebuah jamban untuk kencing saja, kalau berak belum bisa.
Badan kami terasa pegal-pegal dan butuh
istirahat sejenak. Kami bertiga kembali ke tenda, mengeluarkan matras dan
menggelarnya di bawah rerimbunan pohon. Kami berenam kemudian duduk lesehan
sambil menikmati hembusan sepoi-sepoi dedaunan diatas kami. Berbagai makanan
ringan ikut dikeluarkan guna menyemarakkan leyeh-leyeh ini. Kami kemudian
saling bercerita ngalor ngidul perihal urusan apapun. Terkadang kami membahas
pekerjaan kami masing-masing, terkadang kenangan-kenangan kami juga ikut muncul
dalam obrolan sederhana ini. Sambil menikmati renyahnya snack sesekali tawa
kecil kami ikut mengembang sejalan dengan kicauan lucu Ari yang muncul tanpa
dibuat-buat. Aku sudah lupa detail pembicaraan itu, namun kelucuan dan
kesederhanaanya masih aku rasakan hingga aku menulis cerita ini.
Disela-sela ngobrol ngalur-ngidul kulihat
ada ramai-ramai para pendaki di tengah tanah lapang. Ini membuatku penasaran,
“sebenarnya ada apa ini? Apakah ada konser JKT 48 disini?”. Dan tiba-tiba munculah
didepan mataku seorang Nabilah JKT48 dengan rok mini dan T-shit super ketat
sambil tersenyum menunjukkan gigi gingsulnya yang minta digigitin itu. Bercanda
pemirsahh, sebenarnya ramai-ramai tersebut diakibatkan oleh puluhan butir bakso
hangat ditaburi saos pedas di cuaca dingin seperti ini. Tak pelak para pendaki
menyerbunya. Tapi siapa yang repot-repot membawa bakso di tengah gunung macam
ini? Ternyata penduduk setempatlah yang tega menodai cerita pendakian kami
dengan memikul gerobak bakso jauh-jauh sampai di sini. Tak lucu juga jika kami
bercerita kepada sahabat kami tentang pendakian gunung ini. “Bro bro, gue
kemarin naik gunung capek banget, terjal banget ampe ngos-ngosan mau mati, tapi
bro pas kita nge-dome ternyata ada yang jualan bakso. Sakit nggak bro kalo jadi
gue? harusnya di bikin foocourt aja sekalian ya bro biar asupan gizi para
pendaki tercukupi”
Sekitar ba’dha dhuhur kami berencana
untuk melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun. Kabarnya di Tegal Alun banyak
tanaman edelweiss yang tumbuh. Si Ucok sempat tak bersemangat untuk melanjutkan
perjalanan dan minta posisi ketua rombongan digantikan oleh aku atau Udin.
Terang saja aku tak mau, aku tak merasa sanggup bertanggung jawab atas
keselematan semua personil, dan tentunya feelingku dalam memimpin rombongan di
tengah belantara hutan tak sehebat si Ucok. Ternyata bukan saja aku yang
menginginkan Ucok ikut, tapi semua juga sepakat dengan pendapatku ini. Akhirnya
dia mau ikut juga.
Kami bawa barang seperlunya saja dan
sisanya kami tinggal di dome. Semua barang yang diperlukan tersebut dimasukkan
kedalam tasku, sementara seluruh dome beserta isinya kami titipkan kepada
penghuni tenda sebelah kami. Kenapa kami percaya? Ya inilah hubungan antar
sesama pendaki yang baru kenal sekalipun. Kami seolah telah mempunyai sebuah
ikatan yang kami tak bisa gambarkan, seolah-olah ikatan ini telah terjalin
sangat lama padahal kami baru kenal saat itu juga. Aku sering menyebutnya
“guyup cah ndaki”.
Kami mulai pendakian ini, kembali melalui
hutan mati untuk kemudian mengambil arah lereng bukit. Menurut cerita, perjalanan
kali ini membutuhkan waktu setidaknya sekitar dua jam jika perjalanan dilakukan
dengan santai. Setelah hutan mati kami mulai memasuki hutan lebat yang menanjak.
Dengan semangat tinggi kami melangkahkan kaki dengan mantap, namun lama-lama
seperti biasa aku mulai kelelahan. Sekedar info saja, disini cuma aku yang
membawa tas daypackku, yang lain membawa diri beserta segala dosa-dosanya. Dan
seperti biasa aku gengsi untuk meminta berhenti, kutunggu Ari untuk
mengeluarkan kalimat saktinya “Cok, berhenti dulu cok, istirahat.” Dalam hatiku
“Ya Tuhan terima kasihhh akhirnya
istirahat juga”.
Almost terengah-engah Barely cengangas-cengenges |
Sesekali kami temui bonus. Jika tak tahu
bonus itu apa, bonus adalah istilah bagi para pendaki untuk menamai jalan yang
mempunyai slope sebesar 0%, tak naik maupun turun. Jika diterapkan dijalanan
Jakarta maka seluruh jalanan Ibu kota adalah bonus semuanya. Namun kurasa 90 %
jalan yang kami lalui berkontur menanjak, seperti jalan menembak gebetan,
selalu menanjak dan berat. Abaikan tulisan ini.
Kurang lebih 45 menit kami bersusah payah
mengalahkan diri kami sendiri untuk berjalan di curamnya lereng bukit ini. Kami
melihat cahaya terang yang menandakan tanjakan ini akan segera berakhir dan
dataran yang luas akan menyambut. Dan benar saja, seluas dataran bertaburkan
bunga-bunga edelweiss putih serta berlatarkan bukit hijau bertubi-tubi
menghajar kami tanpa sedikitpun ampun. Oh Tuhan, sungguh cantik jelita
ciptaanMu ini.
Tegal Alun ini mengingatkanku akan sebuah
tempat yang tak kalah indah, lembah mandalawangi di Gunung Pangrango. Saat ini,
cuma kami yang berdiri di atas tanah lapang ini. Kesunyian lembah ini selalu
menyadarkanku akan cinta dan kasih sayang dari alam kepada manusia. Seperti
kata Gie dalam puisinya untuk Mandalawangi bahwa kita dan alam ini begitu
berbeda dalam segala hal kecuali dalam cinta dan kasih sayang. Di tempat
seperti inilah selalu kurasakan dekatnya aku kepada Tuhan. Seolah Tuhan adalah
udara yang aku hirup, pemandangan yang aku lihat, darah yang mengalir dalam
vena, atau denyut nadi yang berdetak. Dialah yang menciptakan segalanya ini
dengan kasih sehingga terciptalah alam yang juga mengasihi mahluk hidup yang
mendiaminya. Seharusnya mahluk hidup khususnya manusia mampu menjalin kasih
sayang dua arah dengan alam. Namun yang terjadi sekarang adalah para manusia
bejat bin keparat tega merusak hutan beserta segala isinya demi isi perut juga
isi celana dalamnya. Semoga aku dan sahabatku tak melakukan kesalahan-kesalahan
prinsipal semacam itu.
Do you see it? This scenery called "The beauty of God" |
(Ceritanya belum habis, masih berlanjut di Part 3)
0 komentar:
Posting Komentar