Malam itu, kami akan menuntaskan
janji kami malam sebelumnya yaitu pesta cumi bakar! Para cewek yang sudah
cantik dan wangi serta para cowok yang entah kenapa selalu saja terlihat tampan
(yang ini serius) segera melangkah keluar menuju alun-alun. Dan ketika sampai
di alun-alun yang saat itu tumpah ruah oleh wisatawan, kami langsung menuju
spot tempat jualan cumi bakar dan memesan 3 ekor cumi seharga Rp. 25000,- per
ekornya. Cukup terjangkau harganya di resort wisata seperti ini. Aku dan Vina
mencari tikar untuk duduk tapi tak ketemu, justru Bimo yang menemukannya.
Segera kami duduk dan memesan minuman softdrink.
Asyik memang bisa berkumpul melingkar
seperti ini di tikar dan alam terbuka ditemani suara hingar bingar gerombolan
turis lain. Mungkin di tempat asalnya sana, para turis ini biasa makan di mall,
di gedung-gedung yang full AC nan bersih, atau di resto-resto kelas atas dengan
harga menu yang bombastis dengan memakai pakaian resmi seperti jas, kemeja dan
gaun, bersepatu necis, memakai make-up setebal 5 cm. Namun disini, semua sama,
semua setara, tak risih berselonjoran di atas tikar sederhana, berbaju casual
dan bermake-up seperlunya. Tak malu makan satu piring beramai-ramai menggunakan
tangan tanpa sendok. Hanya ada kerahatan yang secara kasat mata telah
membungkus rapi kebersamaan kita.
Pesanan kami datang setelah 60 menit
berlalu dengan penuh arti. Memang lama pesanan datang, tapi kami maklum melihat
betapa ramainya penikmat kuliner primadona ini. Lagipula, selama menunggu kami
juga bercerita seru sekali hingga tak terasa sudah satu jam terlewati. Tiga
ekor cumi ukuran sedang yang telah dipotong dadu tersajikan dalam dua piring
berbahan plastik. Sedangkan taburan saus kecap diatasnya menambah cantik sajian
tersebut. Perpaduan dua hal itu pecah di dalam mulut kami. Kelezatan kuliner
ini telah menjawab pertanyaanku kenapa yang seperti ini “saja” mampu menjadi
hidangan primadona para wisatawan di pulau ini. Kolesterol? Ah, lupakan,
mumpung disini, besok kalau pulang ke kota kan juga banyak rumah sakit. So,
just eat everything with no worry!
Ketika perut sudah semakin
menggelembung diiringi dengan kelopak mata yang semakin berat dan dibumbui
dengan badan yang sejatinya membutuhkan tukang pijat, kami segera memutuskan
untuk pulang ke penginapan. Dijalan sesekali kami berhenti di toko cinderamata
sekedar untuk melihat-lihat. Dengan
sempoyonngan akhirnya berhasil juga kami sampai di rumah. Segera aku masuk
kamar dan rebahan. Entah secara random, pikiranku melantunkan kidung dari Bang
Rhoma lagi yang berjudul “malam terakhir”. Malam ini memang malam terakhir bagi
kami berada di sini.
************
Hari ke-4. Senin, 15 oktober 2013
Kami berencana untuk pulang ke kota
masing-masing hari ini, mengejar bus sore ini juga mengingat besok adalah hari
raya idul adha sekian hijriah. Untuk pemberangkatan bus sendiri paling terakhir
adalah bus Muji Jaya sekitar ba’dha mahgrib. Dan Kapal Bahari Express yang akan
mengangkut kami dijadwalkan tiba di dermaga Karimunjawa pukul 2 siang. Itulah
yang menyebabkan jalan-jalan hari ini sebisa mungkin selesai saat dhuhur tiba.
Sedangkan tempat yang bakal kami kunjungi hari ini adalah spot snorkeling di perairan pulau Menjangan Kecil kemudian
mampir sejenak di sebuah pantai di pulau yang tak kuketahui namanya dan terakhir kami akan mengunjung penangkaran hiu di
pulau Menjangan Besar yang terletak di seberang pulau Karimunjawa.
Pagi ini kami memulai jalan-jalan lebih pagi dari
hari kemarin, sekitar pukul 7 pagi kami sudah harus siap dijemput L300. Sehabis
sarapan, mobil tersebut menjemput kami dan segera kami melanjutkan acara
liburan ini. Menaiki perahu motor yang sama dengan yang dinaiki kemarin, kami
mulai mengarungi samudera biru diiringi dengan udara pagi yang masih segar. Aku
merasa sungguh bersemangat, energiku meluap-luap entah karena apa, dan aku juga
sangat berbunga-bunga. Sinar ultraviolet dari matahari tak begitu terik namun
tetap saja banyak yang mengoleskan tabir surya di sekujur tubuhnya. Tidak
bagiku, aku jarang menggunakan benda itu. Bukan bermaksud sombong kalau kulitku
tahan banting (padahal nggak juga), tapi aku hanya malas saja memakainya.
Tak terasa kami hampir sampai di spot yang
dimaksud. Pemandangan yang kulihat lagi-lagi pantai yang jernih hingga karang
dan ikan terlihat seperti di aquarium raksasa. Dan kuyakin ini adalah spot
terbaik dari tiga spot yang kukunjungi sejak kemarin. Kupakai segala asesoris
snorkeling dan seketika kucumbui air asin itu. Segar sekali rasanya, segenap
keindahan taman laut itu membuatku takjub akan Tuhan. Aku tak bisa membayangkan
lagi bagaimana rupa kecantikan terumbu karang di Indonesia timur sana, seperti
di Morotai, Bunaken, atau Raja Ampat. Aku bertekad suatu saat aku tak cuma
berenang di permukaan saja tapi aku ingin lebih, aku ingin menyelam di
kedalaman, bercumbu sedekat mungkin dengan kemisteriusan para penguasa laut dan
kroni-kroninya. Semakin kedalam aku akan semakin menghargai bahwa keindahan apa
lagi yang musti aku dustakan? Dan kecintaanku terhadap laut beserta isi-isinya
sudah tak bisa diragukan lagi. Walaupun seseorang bilang bahwa hati dan
perasaan itu sangat mudah berubah-ubah tapi tak akan pernah berlaku untuk rasa
cintaku terhadap keindahan laut.
Teman-temanku berenang sendiri-sendiri menikmati
keindahan ini, sepertinya mereka tak mau diganggu. Akupun sama. Begitu juga
kemeriahan grup lainnya. Sekitar enam perahu yang menambatkan jangkar kecilnya
di spot ini yang berisikan penuh wisatawan. Aku yakin semuanya 100% sedang
berbahagia.
Aku dan terumbu karang perairan menjangan kecil |
Hai para cewek seantero Jakarta! Dapat salam dari Bimo! |
Ini Merry. Bagaimana? Cantik kan? (Bukan orangnya lho ya) |
Habis diapain nih Vina? hahaha.. |
Lina dengan hijaunya air laut |
Kami berenang hingga puas dan capek. Tak seperti
biasanya, kali ini kami semua mentas dari air tanpa disuruh-suruh. Dan para ABK
segera melepaskan tambatan perahu untuk menuju spot berikutnya yaitu pantai sebuah pulau kecil.
Untuk menuju ke tempat tersebut cukup cepat, sekitar 15 menit saja kami
perahu sudah sampai. Pantai di sini mirip dengan pantai di pulau Cemara besar.
Hamparan putih dikelilingi oleh kecemerlangan air yang birunya mendayu-dayu. Di
sini kami berlima juga grup lainnya sibuk berfoto-foto. Pose berfotonya masih
standar, yaitu loncat-loncat dan tiduran di pasir. Dengan baju basah kuyup yang
memperjelas lekuk-lekuk tubuh, kami tak canggung untuk berekspresi.
Levitation! |
Tak lama kami di situ, kemudian kami bergegas
menuju penangkaran hiu. Di penangkaran hiu ini kami bisa turun langsung di
kolam tempat menangkar. Jangan berpikir kalau hiu disini besar-besar seperti di
film jaws. Hiu disini masih kecil-kecil, kira-kira seukuran paha orang dewasa.
Aku tak begitu mengerti ini jenis hiu apa. Bagi perempuan yang sedang dilanda
pendarahan rutin memang tidak diperbolehkan untuk turun ke kolam karena pasti
akan menjadi sasaran empuk bagi hiu kecil ini. Untuk turun sendiri kami
diwajibkan membayar Rp 15000,- dengan durasi waktu unlimited.
Aku lantas turun ke kolam bersama Bimo, Mery, dan
Vina. Lina tak ikut turun karena alas an yang telah kusebutkan tadi. Air
kolamnya dangkal, selutut ku kira-kira. Hiu berwarna abu-abu suka bergerombol
di satu sudut kolam membuat kami penasaran ingin mendekat. Bagus memang bentuk
tubuh hiu ini, proporsional, sirip dan ekornya membuatnya tampak gagah tapi
misterius. Perasaan ngeri masih ada di benak kami, takut kalau-kalau hiu ini
berubah pikiran kemudian menyerang kami secara tiba-tiba. Tewaslah kami.
Sebenarnya aku masih penasaran kenapa kok mereka tak menyerang manusia yang
begitu dekat keberadaanya. Padahal naluri binatang ini kan pemakan daging a.k.a
hewan karnivora. Hiu juga mampu mencium darah hingga radius tertentu. Apakah
mungkin hewan di tempat penangkaran ini sudah didoktrin untuk menjalani hidup
sehat dengan tak memakan daging? Ataukah hiu disini pernah diberi harapan palsu
oleh manusia kemudian mereka jadi membenci daging kami? Sayangnya aku lupa
menanyakan pertanyaan besar ini ke penangkarnya.
Tak akan pernah berhenti narsis meskipun malaikat maut sedang mengelilingi kami |
Ku lihat letak matahari telah berada tepat diatas
kepala yang mengindikasikan hari telah beranjak siang. Kami harus segera pulang
agar tak ketinggalan kapal feri. Di sisi lain, ini adalah akhir dari rangkaian
jalan-jalan ku dan kawan-kawan baruku di pulau cantik ini. Perahu melaju
bersama kepuasan kami semua, menuju dermaga kecil Karimunjawa.
******************
Ketika kami sedang berjalan-jalan sembari mencari
cindera mata khas kepulauan ini tiba-tiba Bimo ditelpon oleh Lina yang tak ikut
berjalan-jalan. Dia mengabarkan kalau L300 telah menjemput kami di penginapan
karena kapal Bahari sudah berlabuh di dermaga. Langkah seribu kami lakukan agar
cepat sampai rumah. Kami tak ingin konyol ketinggalan kapal ke Jepara itu.
Untung barang bawaan kami telah siap terpacking. Dan ketika tiba di penginapan
kami segera bergegas masuk mobil kemudian melaju ke dermaga.
Dermaga telah penuh orang mengantre. Di trip
pulang ke Jepara, kami mendapat tiket kelas Eksekutif. Kuamati ruangan yang
menggambarkan strata sosial tertinggi ini. Tak jauh beda dengan kelas umum yang
kunaiki saat berangkat ke Karimun. Yang beda hanyalah tempat duduk yang hanya 3
seat dalam satu baris, dan juga disini terdapat fasilitas karaoke. Selebihnya
tak ada yang signifikan. Disepanjang perjalanan selama 2 jam ini kami hanya
tertidur pulas karena kecapekan. Masing-masing memakai headset dengan
mendengarkan musik terbaik mereka.
Pukul 5 sore aku dan teman-temanku tiba di
pelabuhan Kartini Jepara. Mas Agus, yang diawal telah kuceritakan tokoh ini,
telah menunggui kami di pelabuhan ini. Becak bertenaga nasi kemudian mengangkut
kami sampai ke masjid di sudut terminal Jepara. Mas Agus memberi tahu bahwa bus
yang tersisa hanya tinggal Muji jaya dan 4 buah tiket telah dipegangnya.
“Mas ini ada empat tiket muji jaya. Kemarin kan
mas udah dp masing-masing limapuluh ribu, nhah setelah saya tanya harganya ke
agen muji jaya, ternyata naik mas soalnya kan besok lebaran, dimana-mana juga
naik harga tiketnya. Ini jadi dua ratus tiga puluh ribu.” Ujar Mas Agus
menjelaskan.
Bimo yang merasa harganya terlalu melambung
tinggi kemudian menawarnya, “nggak bisa kurang ya mas? Kan kita berempat.”
“Waduh nggak bisa mas, soalnya lebaran. Lagian
yang mau tiket ini banyak mas. Gimana nih? Kalo nggak jadi gpp kok mas. Uang dp
saya kembalikan, ini ntar tiket saya tawarin lagi ke penumpang lain.”
“Ya udah mas nggak papa, daripada kita nggak
pulang”. Saat itu memang hampir gelap dan tinggal dua bus lagi yang teronggok
di terminal. Maka dari itu Bimo memutuskan untuk mengambil tiket itu.
Bus kramatdjati tujuan Bandung yang harusnya aku
naiki ternyata sudah berangkat sejak pukul 4 tadi. Namun akhirnya aku dicarikan
bus tujuan Jakarta yang ternyata bus muji jaya juga. Aku menambah tujupuluh
ribu agar aku bisa ikut bus yang tak kalah bagus dengan bus yang Bimo naiki.
Setelah kutanya mas penumpang lain, ternyata harga tiketnya hanya Rp. 170000,-
saja jika sampai Jakarta. Beda jauh dengan tiket Bimo padahal sama-sama bus
Muji jaya, sama-sama AC dan tujuan Jakarta. Kecurigaanku benar kalau Mas Agus
ini tak beda jauh dengan calo pada umumnya. Tapi tak apalah, itung-itung
beramal.
Mereka berempat pulang, begitu juga aku. Dan
selesailah liburan menyenangkan kami. Mungkin perjalanan ini punya kesan
tertentu bagi mereka masing-masing. Mungkin suatu saat mereka akan kembali ke
pulau ini dengan orang terkasih atau mungkin tak ada kata kembali bagi tempat
yang sudah dikunjungi. Bagiku sendiri, perjalanan liburan ini selain mampu
menyegarkan pikiran juga menjadi ruang-ruang belajar gratis. Maksudnya, dengan
melihat keindahan alam sana, aku semakin merasa tak ada apa-apanya di hadapan
Tuhan Yang Maha Indah. Aku cuma setetes air di tengah samudera. Dan harusnya
aku selalu rendah hati mencintai alam kehidupan yang hanya sekelebat ini. Menghargai
segenap kesederhanaan yang tak dibuat-buat. Dengan kesederhanaan inilah
kebahagiaan akan terbit dengan sendirinya yang sekali lagi harus aku syukuri.
Betapa pengalaman ini sangat berharga bagiku!
********************
Kuketok pintu berkali-kali, tak ada satupun yang
menyaut. Aku maklum karena ini sudah pukul 10 malam. Kuyakin mereka telah
pulas. Namun tak berapa lama kemudian suara wanita paruh baya terdengar dari
dalam dan berkata “sek..sek…tak golek kunci sek”. Dari suara yang sangat
kukenal, dia adalah ibuku. Beliau kemudian membukakan pintu, menyuruhku masuk,
membuatkanku teh hangat, dan menanyaiku macam-macam bak seorang penyidik. Ya
begitulah ibuku ke anak-anaknya.
Ditengah hening malam, Kunyalakan ruang tamu,
kubuka bucket listku dan aku bahagia bisa mencoret satu listku lagi. Puluhan
list lain masih menunggu untuk kucoreti! :)
Selesai.
Cast