Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Menghisap Energi gradasi Biru Karimun Jawa (Part 3 - habis)

Malam itu, kami akan menuntaskan janji kami malam sebelumnya yaitu pesta cumi bakar! Para cewek yang sudah cantik dan wangi serta para cowok yang entah kenapa selalu saja terlihat tampan (yang ini serius) segera melangkah keluar menuju alun-alun. Dan ketika sampai di alun-alun yang saat itu tumpah ruah oleh wisatawan, kami langsung menuju spot tempat jualan cumi bakar dan memesan 3 ekor cumi seharga Rp. 25000,- per ekornya. Cukup terjangkau harganya di resort wisata seperti ini. Aku dan Vina mencari tikar untuk duduk tapi tak ketemu, justru Bimo yang menemukannya. Segera kami duduk dan memesan minuman softdrink. 

Asyik memang bisa berkumpul melingkar seperti ini di tikar dan alam terbuka ditemani suara hingar bingar gerombolan turis lain. Mungkin di tempat asalnya sana, para turis ini biasa makan di mall, di gedung-gedung yang full AC nan bersih, atau di resto-resto kelas atas dengan harga menu yang bombastis dengan memakai pakaian resmi seperti jas, kemeja dan gaun, bersepatu necis, memakai make-up setebal 5 cm. Namun disini, semua sama, semua setara, tak risih berselonjoran di atas tikar sederhana, berbaju casual dan bermake-up seperlunya. Tak malu makan satu piring beramai-ramai menggunakan tangan tanpa sendok. Hanya ada kerahatan yang secara kasat mata telah membungkus rapi kebersamaan kita. 

Pesanan kami datang setelah 60 menit berlalu dengan penuh arti. Memang lama pesanan datang, tapi kami maklum melihat betapa ramainya penikmat kuliner primadona ini. Lagipula, selama menunggu kami juga bercerita seru sekali hingga tak terasa sudah satu jam terlewati. Tiga ekor cumi ukuran sedang yang telah dipotong dadu tersajikan dalam dua piring berbahan plastik. Sedangkan taburan saus kecap diatasnya menambah cantik sajian tersebut. Perpaduan dua hal itu pecah di dalam mulut kami. Kelezatan kuliner ini telah menjawab pertanyaanku kenapa yang seperti ini “saja” mampu menjadi hidangan primadona para wisatawan di pulau ini. Kolesterol? Ah, lupakan, mumpung disini, besok kalau pulang ke kota kan juga banyak rumah sakit. So, just eat everything with no worry!

Ketika perut sudah semakin menggelembung diiringi dengan kelopak mata yang semakin berat dan dibumbui dengan badan yang sejatinya membutuhkan tukang pijat, kami segera memutuskan untuk pulang ke penginapan. Dijalan sesekali kami berhenti di toko cinderamata sekedar untuk melihat-lihat.  Dengan sempoyonngan akhirnya berhasil juga kami sampai di rumah. Segera aku masuk kamar dan rebahan. Entah secara random, pikiranku melantunkan kidung dari Bang Rhoma lagi yang berjudul “malam terakhir”. Malam ini memang malam terakhir bagi kami berada di sini.

                                                     ************

Hari ke-4. Senin, 15 oktober 2013

Kami berencana untuk pulang ke kota masing-masing hari ini, mengejar bus sore ini juga mengingat besok adalah hari raya idul adha sekian hijriah. Untuk pemberangkatan bus sendiri paling terakhir adalah bus Muji Jaya sekitar ba’dha mahgrib. Dan Kapal Bahari Express yang akan mengangkut kami dijadwalkan tiba di dermaga Karimunjawa pukul 2 siang. Itulah yang menyebabkan jalan-jalan hari ini sebisa mungkin selesai saat dhuhur tiba. Sedangkan tempat yang bakal kami kunjungi hari ini adalah spot snorkeling di perairan pulau Menjangan Kecil kemudian mampir sejenak di sebuah pantai di pulau yang tak kuketahui namanya dan terakhir kami akan mengunjung penangkaran hiu di pulau Menjangan Besar yang terletak di seberang pulau Karimunjawa. 

Pagi ini kami memulai jalan-jalan lebih pagi dari hari kemarin, sekitar pukul 7 pagi kami sudah harus siap dijemput L300. Sehabis sarapan, mobil tersebut menjemput kami dan segera kami melanjutkan acara liburan ini. Menaiki perahu motor yang sama dengan yang dinaiki kemarin, kami mulai mengarungi samudera biru diiringi dengan udara pagi yang masih segar. Aku merasa sungguh bersemangat, energiku meluap-luap entah karena apa, dan aku juga sangat berbunga-bunga. Sinar ultraviolet dari matahari tak begitu terik namun tetap saja banyak yang mengoleskan tabir surya di sekujur tubuhnya. Tidak bagiku, aku jarang menggunakan benda itu. Bukan bermaksud sombong kalau kulitku tahan banting (padahal nggak juga), tapi aku hanya malas saja memakainya.

Tak terasa kami hampir sampai di spot yang dimaksud. Pemandangan yang kulihat lagi-lagi pantai yang jernih hingga karang dan ikan terlihat seperti di aquarium raksasa. Dan kuyakin ini adalah spot terbaik dari tiga spot yang kukunjungi sejak kemarin. Kupakai segala asesoris snorkeling dan seketika kucumbui air asin itu. Segar sekali rasanya, segenap keindahan taman laut itu membuatku takjub akan Tuhan. Aku tak bisa membayangkan lagi bagaimana rupa kecantikan terumbu karang di Indonesia timur sana, seperti di Morotai, Bunaken, atau Raja Ampat. Aku bertekad suatu saat aku tak cuma berenang di permukaan saja tapi aku ingin lebih, aku ingin menyelam di kedalaman, bercumbu sedekat mungkin dengan kemisteriusan para penguasa laut dan kroni-kroninya. Semakin kedalam aku akan semakin menghargai bahwa keindahan apa lagi yang musti aku dustakan? Dan kecintaanku terhadap laut beserta isi-isinya sudah tak bisa diragukan lagi. Walaupun seseorang bilang bahwa hati dan perasaan itu sangat mudah berubah-ubah tapi tak akan pernah berlaku untuk rasa cintaku terhadap keindahan laut. 

Teman-temanku berenang sendiri-sendiri menikmati keindahan ini, sepertinya mereka tak mau diganggu. Akupun sama. Begitu juga kemeriahan grup lainnya. Sekitar enam perahu yang menambatkan jangkar kecilnya di spot ini yang berisikan penuh wisatawan. Aku yakin semuanya 100% sedang berbahagia. 

Aku dan terumbu karang perairan menjangan kecil

Hai para cewek seantero Jakarta! Dapat salam dari Bimo!

Ini Merry. Bagaimana? Cantik kan? (Bukan orangnya lho ya)

Habis diapain nih Vina? hahaha..


Lina dengan hijaunya air laut

Kami berenang hingga puas dan capek. Tak seperti biasanya, kali ini kami semua mentas dari air tanpa disuruh-suruh. Dan para ABK segera melepaskan tambatan perahu untuk menuju spot berikutnya yaitu pantai sebuah pulau kecil.  Untuk menuju ke tempat tersebut cukup cepat, sekitar 15 menit saja kami perahu sudah sampai. Pantai di sini mirip dengan pantai di pulau Cemara besar. Hamparan putih dikelilingi oleh kecemerlangan air yang birunya mendayu-dayu. Di sini kami berlima juga grup lainnya sibuk berfoto-foto. Pose berfotonya masih standar, yaitu loncat-loncat dan tiduran di pasir. Dengan baju basah kuyup yang memperjelas lekuk-lekuk tubuh, kami tak canggung untuk berekspresi.

Levitation!

Tak lama kami di situ, kemudian kami bergegas menuju penangkaran hiu. Di penangkaran hiu ini kami bisa turun langsung di kolam tempat menangkar. Jangan berpikir kalau hiu disini besar-besar seperti di film jaws. Hiu disini masih kecil-kecil, kira-kira seukuran paha orang dewasa. Aku tak begitu mengerti ini jenis hiu apa. Bagi perempuan yang sedang dilanda pendarahan rutin memang tidak diperbolehkan untuk turun ke kolam karena pasti akan menjadi sasaran empuk bagi hiu kecil ini. Untuk turun sendiri kami diwajibkan membayar Rp 15000,- dengan durasi waktu unlimited. 

Aku lantas turun ke kolam bersama Bimo, Mery, dan Vina. Lina tak ikut turun karena alas an yang telah kusebutkan tadi. Air kolamnya dangkal, selutut ku kira-kira. Hiu berwarna abu-abu suka bergerombol di satu sudut kolam membuat kami penasaran ingin mendekat. Bagus memang bentuk tubuh hiu ini, proporsional, sirip dan ekornya membuatnya tampak gagah tapi misterius. Perasaan ngeri masih ada di benak kami, takut kalau-kalau hiu ini berubah pikiran kemudian menyerang kami secara tiba-tiba. Tewaslah kami. Sebenarnya aku masih penasaran kenapa kok mereka tak menyerang manusia yang begitu dekat keberadaanya. Padahal naluri binatang ini kan pemakan daging a.k.a hewan karnivora. Hiu juga mampu mencium darah hingga radius tertentu. Apakah mungkin hewan di tempat penangkaran ini sudah didoktrin untuk menjalani hidup sehat dengan tak memakan daging? Ataukah hiu disini pernah diberi harapan palsu oleh manusia kemudian mereka jadi membenci daging kami? Sayangnya aku lupa menanyakan pertanyaan besar ini ke penangkarnya. 

Tak akan pernah berhenti narsis meskipun malaikat maut sedang mengelilingi kami

Ku lihat letak matahari telah berada tepat diatas kepala yang mengindikasikan hari telah beranjak siang. Kami harus segera pulang agar tak ketinggalan kapal feri. Di sisi lain, ini adalah akhir dari rangkaian jalan-jalan ku dan kawan-kawan baruku di pulau cantik ini. Perahu melaju bersama kepuasan kami semua, menuju dermaga kecil Karimunjawa.

                                                ******************

Ketika kami sedang berjalan-jalan sembari mencari cindera mata khas kepulauan ini tiba-tiba Bimo ditelpon oleh Lina yang tak ikut berjalan-jalan. Dia mengabarkan kalau L300 telah menjemput kami di penginapan karena kapal Bahari sudah berlabuh di dermaga. Langkah seribu kami lakukan agar cepat sampai rumah. Kami tak ingin konyol ketinggalan kapal ke Jepara itu. Untung barang bawaan kami telah siap terpacking. Dan ketika tiba di penginapan kami segera bergegas masuk mobil kemudian melaju ke dermaga. 

Dermaga telah penuh orang mengantre. Di trip pulang ke Jepara, kami mendapat tiket kelas Eksekutif. Kuamati ruangan yang menggambarkan strata sosial tertinggi ini. Tak jauh beda dengan kelas umum yang kunaiki saat berangkat ke Karimun. Yang beda hanyalah tempat duduk yang hanya 3 seat dalam satu baris, dan juga disini terdapat fasilitas karaoke. Selebihnya tak ada yang signifikan. Disepanjang perjalanan selama 2 jam ini kami hanya tertidur pulas karena kecapekan. Masing-masing memakai headset dengan mendengarkan musik terbaik mereka.

Pukul 5 sore aku dan teman-temanku tiba di pelabuhan Kartini Jepara. Mas Agus, yang diawal telah kuceritakan tokoh ini, telah menunggui kami di pelabuhan ini. Becak bertenaga nasi kemudian mengangkut kami sampai ke masjid di sudut terminal Jepara. Mas Agus memberi tahu bahwa bus yang tersisa hanya tinggal Muji jaya dan 4 buah tiket telah dipegangnya. 

“Mas ini ada empat tiket muji jaya. Kemarin kan mas udah dp masing-masing limapuluh ribu, nhah setelah saya tanya harganya ke agen muji jaya, ternyata naik mas soalnya kan besok lebaran, dimana-mana juga naik harga tiketnya. Ini jadi dua ratus tiga puluh ribu.” Ujar Mas Agus menjelaskan.

Bimo yang merasa harganya terlalu melambung tinggi kemudian menawarnya, “nggak bisa kurang ya mas? Kan kita berempat.”

“Waduh nggak bisa mas, soalnya lebaran. Lagian yang mau tiket ini banyak mas. Gimana nih? Kalo nggak jadi gpp kok mas. Uang dp saya kembalikan, ini ntar tiket saya tawarin lagi ke penumpang lain.”

“Ya udah mas nggak papa, daripada kita nggak pulang”. Saat itu memang hampir gelap dan tinggal dua bus lagi yang teronggok di terminal. Maka dari itu Bimo memutuskan untuk mengambil tiket itu.

Bus kramatdjati tujuan Bandung yang harusnya aku naiki ternyata sudah berangkat sejak pukul 4 tadi. Namun akhirnya aku dicarikan bus tujuan Jakarta yang ternyata bus muji jaya juga. Aku menambah tujupuluh ribu agar aku bisa ikut bus yang tak kalah bagus dengan bus yang Bimo naiki. Setelah kutanya mas penumpang lain, ternyata harga tiketnya hanya Rp. 170000,- saja jika sampai Jakarta. Beda jauh dengan tiket Bimo padahal sama-sama bus Muji jaya, sama-sama AC dan tujuan Jakarta. Kecurigaanku benar kalau Mas Agus ini tak beda jauh dengan calo pada umumnya. Tapi tak apalah, itung-itung beramal. 

Mereka berempat pulang, begitu juga aku. Dan selesailah liburan menyenangkan kami. Mungkin perjalanan ini punya kesan tertentu bagi mereka masing-masing. Mungkin suatu saat mereka akan kembali ke pulau ini dengan orang terkasih atau mungkin tak ada kata kembali bagi tempat yang sudah dikunjungi. Bagiku sendiri, perjalanan liburan ini selain mampu menyegarkan pikiran juga menjadi ruang-ruang belajar gratis. Maksudnya, dengan melihat keindahan alam sana, aku semakin merasa tak ada apa-apanya di hadapan Tuhan Yang Maha Indah. Aku cuma setetes air di tengah samudera. Dan harusnya aku selalu rendah hati mencintai alam kehidupan yang hanya sekelebat ini. Menghargai segenap kesederhanaan yang tak dibuat-buat. Dengan kesederhanaan inilah kebahagiaan akan terbit dengan sendirinya yang sekali lagi harus aku syukuri. Betapa pengalaman ini sangat berharga bagiku!

                                                ********************

Kuketok pintu berkali-kali, tak ada satupun yang menyaut. Aku maklum karena ini sudah pukul 10 malam. Kuyakin mereka telah pulas. Namun tak berapa lama kemudian suara wanita paruh baya terdengar dari dalam dan berkata “sek..sek…tak golek kunci sek”. Dari suara yang sangat kukenal, dia adalah ibuku. Beliau kemudian membukakan pintu, menyuruhku masuk, membuatkanku teh hangat, dan menanyaiku macam-macam bak seorang penyidik. Ya begitulah ibuku ke anak-anaknya.
Ditengah hening malam, Kunyalakan ruang tamu, kubuka bucket listku dan aku bahagia bisa mencoret satu listku lagi. Puluhan list lain masih menunggu untuk kucoreti! :)

Selesai.

Cast


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar