Hari ke-1. Jumat, 12 oktober 2013
Pikiranku melayang jauh ke
pantai-pantai nan indah atau terumbu karang dan berbagai biota laut cantik ketika
Seniorku menyuruh merevisi kerjaanku yang masih sedikit salah. Hari ini aku dan
teman-teman memang berencana untuk berlibur ke kepulauan karimun jawa yang
tersohor itu.
Sebenarnya rencana ini hanya untuk
satu kalangan tertentu dari sebuah perusahaan yg diadakan oleh temanku, Bimo.
Bimo mengajak teman sekantornya di sebuah BUMN operator jalan tol nasional.
Namun ternyata beberapa temannya membatalkan secara mendadak karena alasan
tertentu. Dan karena aku adalah teman yang baik, maka aku mau saja di ajak Bimo
si pemilik tatapan penuh modus itu untuk menempati posisi yang kosong. Akhirnya
total lima orang kamipun bisa berangkat dengan tenang.
Dan setelah setengah hari aku tak ada
pekerjaan berarti karena tugas-tugas negara telah berhasil di selesaikan dengan
cepat (dan akurat? Entahlah) akupun mulai mengumpulkan keberanian untuk minta
ijin pulang cepat. Untunglah setiap jumat Ibu bos ku a.k.a kanjeng mami sudah
libur, sehingga aku cuma minta ijin ke bawahannya yang juga atasanku.
"Pak Luhut, saya mau minta ijin
pulang cepet buat ngejer bis, mau pulang kampung soalnya pak", kataku
sedikit mengelabui.
"Oke, pulang ke
pekalongan?"
"iya pak, bisnya jam 4 soalnya
jadi harus sekarang dari sini", ujarku dengan rasa bersalah karena telah
berbohong.
"oke, ati-ati ya. Salam buat
keluarga dirumah"
"iya pak makasih ya, saya pulang
dulu". Dalam hati ku, "oke nanti salamnya aku sampein ke nemo dan
anak hiu di karimun sana"
Kukejar busway dan lanjut ke bus umum
hingga kemudian sampai di lebak bulus. Langsung aku menuju ke loket bus
nusantara untuk menukarkan nota bookingan yang telah kulunasi beberapa waktu
sebelumnya dengan tiket bus sesungguhnya. Dan aku menunggu teman lain datang.
Mereka kemudian datang
berbondong-bondong bersama Bimo dengan membawa tas tak kurang dari dua. Si
Merry dan Lina adalah teman sekantor Bimo yang punya hobi traveling cukup akut
menurutku. Personil masih kurang satu, yaitu si Vina. Vina adalah kenalanku dan
Bimo saat kami jalan-jalan ke green canyon Pangandaran sana. Dan dia mau saja
di kelabui Bimo untuk ikut acara ini. Cih.
Kami semua sudah masuk bus dan
menempati posisi tempat duduk sesuai nomer yang tertera di tiket. Kemudian Vina
datang masuk bus setelah dijemput Bimo di depan terminal. Dengan jaket jeans,
juga celana jeans nya yg bernuansa gelap dia memilih duduk di dekat jendela,
aku kebagian di sisi yang dekat dengan jalan lewat para penumpang. Sedangkan
Bimo duduk bersama seorang pria antah berantah. Setelah kutanya tentang rumor
yang santer terdengar di grup Whatsapp trip pangandaran, ternyata benar bahwa
Vina kehilangan separuh jiwanya, yaitu Blackberry nya. Dia cerita ke aku kalau
BB nya hilang di laci kantor dan mencurigai teman sekantornya yang telah
mencuri BB nya.
"terus sekarang pake HP
apa?" ujarku sedikit kepo.
"Ini aku masih punya BB yg lama
udah nggak dipake, mau aku isiin axis tp belum dipaketin paket BB. Duh, hidup
tanpa BB sepi banget ya rasanya, kyk separuh jiwa tuh ilang! Huhu.. Biasanya
bisa ngechat sana-sini sekarang nggak bisa!" celotehnya. Raut wajahnya
saat itu jika diterjemahkan dalam emoticon maka akan bergambar seperti ini
"T.T". Kami mengobrol hingga dia tertidur dan aku belum. Aku masih
ber-chating ria dengan seseorang.
Bus malam Nusantara |
Bus Nusantara yang kami tumpangi
memutar film-film laga jaman aku masih lucu nan imut-imut. Brama kumbara,
Laksmini, dan tentunya Mantili -yang sungguh cantik jelita dan khas sekali
paras wajahnya- setia menghiasi malam kami yang terombang-ambing oleh
ketidakrataan jalan. Dulu aku sesekali mendengar sandiwara di radio tentang
mantili dan kawan-kawannya. Dan dari radio itulah aku menjadi cukup ngefans
dengan tokoh mantili. Suatu tengah malam saat aku masih SD, aku pernah menonton
film ini (padahal film ini kategori film dewasa krn bnyk adegan yg menggetarkan
jiwa lelaki). Ketika aku melihat mantili, aku tercengang, terhentak akan
kecantikan bak dewi kahyangan. Maka bertambah mengidolakan lagi lah aku.
Wajahnya tak pernah terlupakan hingga aku menontonnya lagi sekarang. Memang ayu
mbaknya itu! Duh duh mbak, kesehatanmu lho mbak.. Eh, anyway, ini kok jadi
ngomongin mbak Mantili ya...hahahaha
Skrinsyut salah satu adegan Mantili |
Hari ke-2. Sabtu, 13 oktober 2013
Fajar mulai menyingsing saat bus kami
memasuki daerah kabupaten Demak Bintoro. Dan satu persatu dari kami mulai
terbangun. Aku memainkan playlist-playlist andalanku yang bak ayat-ayat suci
untuk menyambut pagi ceria ini. Apalagi ditambah ngemil snack goodtime nya
Vina, lengkaplah sudah pagi bahagia ini. Bahagia itu sederhana memang.
Sekitar pukul 6.45 bus kami memasuki
terminal jepara. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku menjejakkan kaki di
kota tempat lahirnya pemikir wanita bernama Kartini. Toilet adalah apa yg ada
dipikiran kami semua saat itu dan kemudian kami beristirahat dan bersih-bersih
diri di masjid yang terletak di sudut terminal.
Di toilet kami bertemu dengan penjaga
toilet yg cukup mengetahui seluk beluk trip ke karimun. Ada rombongan yang ketinggalan
kapal km muria yang berangkat pukul 8
pagi diakibatkan oleh kemacetan saat perjalanan menuju jepara. Kemudian,
mas-mas penjaga toilet itu menawarkan kapal motor kecil berkapasitas maksimal
20 orang tentunya dengan biaya lebih. Mas agus namanya. Dia juga bisa
mem-bookingkan tiket bus dari Jepara tujuan mana saja. Biasanya, Jadwal kapal
dari pelabuhan Karimun ke Pelabuhan Kartini Jepara tidaklah pasti dan terkadang
mengalami keterlambatan sekian jam, bahkan pernah sampai berhari-hari tak
berlayar karena memang sangat dipengaruhi oleh cuaca, angin, dan tinggi gelombang.
Itulah yang menyebabkan para turis yang sudah memesan tiket bus untuk kembali
ke kotanya masing-masing sering hangusnya tiket bus yang telah dibelinya itu.
Peluang inilah yang dimanfaatkan Mas Agus untuk menjual jasanya, mungkin dengan
sedikit menakut-nakuti turis dan tak arang juga mengelabuinya. Ya tapi kami
sebagai turis yang punya keterbatasan waktu tak bisa mengelak lagi untuk
menggunakan jasanya walaupun sejatinya kami tahu Mas Agus sedang cari-cari
keuntungan dari kami para wisatawan.
Tak mau ambil resiko kamipun akhirnya
menggunakan jasa Mas Agus. Dengan membayar DP sebesar Rp. 50000,- seorang,
kesepakatan terjadi diantara kami. “Ini nanti saya booking dulu aja tapi saya
masih belum berani nentuin harga tiketnya berapa ya soalnya tau sendiri mas
besok senin itu kan H-1 sebelum lebaran haji, jadi ya pasti naik lah harganya.
Nanti mas-masnya pas udah naik kapal menuju kesini langsung telpon saya ya,
biar segera saya bookingkan bus yang masih ada.” Kilah Mas Agus dengan medoknya.
“Oke Mas, nanti saya kabari lagi aja.
Kalau Nusantara bisa nggak Mas?” Ujar Bimo yang sama-sama medok akut.
“Nusantara itu paling awal lho Mas
dari sini, sekitar jam 4-an. Nhah kalau paling akhir itu bus Muji Jaya. Bagus
juga kok Mas”
“Ya udah Mas, apa aja yang penting
dapet bus bagus” pinta Bimo
Aku yang berencana pulang langsung ke
rumahku di Batang lantas meminta ke Mas Agus, “Mas kalau saya Cuma turun di
Pekalongan aja enaknya gimana ya? Kalau bus Cirebon gitu nggak ada?” tanyaku
dengan medok juga tapi tak parah-parah amat.
“Nhah kalo sampeyan mending tak
ikutin bus Kramatdjati yang tujuan ke Bandung aja, nanti harganya dari 125 ribu
bisa jadi 100 ribu. Soalnya saya kan bekas supir kramatdjati, jadi masih kenal
sama pengurus-pengurus dan sopirnya. Bisa lah saya urus.”
“Oke lah Mas” jawabku. Aku jadi
curiga dengan statement masnya yang bekas supir bus. “Apa bedanya ini sama
calo, tapi ya sudah lah yang penting dapet bus” pikirku.
Setelah sepakat ini itu, kami mulai
memikirkan untuk memberi makan dewa naga di perut kami. Di sudut terminal dekat
pintu masuk terlihat warung gudeg yang sederhana. Kami kemudian makan disitu.
Dengan biaya Rp 80000,- berlima, para naga sudah terpuaskan.
Dari terminal Jepara ke pelabuhan
Kartini kami menaiki taksi xenia hitam yang sedang ngetem dengan biaya Rp. 10000,- per-orangnya. Sebenarnya tak
terlalu jauh, perjalanan ditempuh kurang lebih 10 menit. Kami sampai di
pelabuhan sekitar pukul 10. Pelabuhan masih terlihat lengang, kursi-kursi masih
banyak yang belum ditempati. Loket pembelian tiketpun tak ada yang buka karena
menurut info memang jika tiket telah habis, loketpun tak akan buka. Beberapa
wisatawan ada yang kecele ingin
membeli tiket kapal tapi tiket telah ludes terjual. Maklum lah karena sekarang
ini sedang peak season. Aku kemudian
berpikir kalau di sana pastilah ramai sekali penuh wisatawan.
Agen Travel yang kami pakai memang
cukup eksklusif servisnya. Terlihat dari tiket kapal yang kami pegang. Tiket
Kapal Bahari Express menurut prediksi ngasalku berharga hampir seratus ribu.
Kapal Bahari yang milik swasta ini hanya butuh waktu sekitar 2 jam sekali
perjalanan. Bandingkan dengan KM Muria yang dikelola pemerintah setempat, butuh
waktu kurang lebih 6 jam hanya untuk sekali
jalan. Sungguh perbedaan yang sangat mencolok. Harga tiketnya juga jauh
berbeda pastinya, yaitu sekitar limapuluh ribu.
Kapal Bahari ini di jadwalnya akan
berangkat pukul 2 siang dari pelabuhan Kartini. Namun setelah kami tunggu lama
hingga mati gaya, baru pukul 2.30 gerbang masuk dibuka. Kami beserta penumpang
lain mengantri dengan tertib untuk masuk. Dua petugas berdiri dihadapan kami.
Yang satu bertugas mengecek tiket yang satunya lagi hanya mengawasi dari
samping. Tiket kemudian disobek separo dan kami diperbolehkan masuk kapal.
Kapal dari luar berwarna putih. Namun saat masuk ke dalam warnanya bukan putih melainkan
didominasi warna merah. Bangku yang empuk dan nyaman telah siap untuk kami
duduki. Setiap baris berjumlah empat kursi dan kami duduk dibaris paling depan
tepat didepan AC ruangan. AC menyala sangat dingin. Kami yang tadinya kepanasan
kemudian menggigil tak tentu arah. Seolah-olah kami sedang berlayar menuju
kutub selatan. Bahkan bule-bule yang seharusnya terbiasa dengan udara dinginpun
tak kuat untuk tak memakai jaket dan sarung. Menurut penerawanganku, kapal ini
diisi oleh 300-400 penumpang.
***************
Senja memanggil-manggil kami di
halaman pulau karimunjawa. Kesan pertamaku saat memasuki dermaga adalah sangat
bersih dan airnya jernih. Selama 24 tahun hidup di pesisir utara pulau Jawa,
baru kali inilah aku melihat dermaga sebersih ini, air yang jernihnya bak kaca.
Bahkan saat kami mulai turun ke dermaga, aku melihat banyak bule memakai bikini
–yang tentunya astoghfirullah banget- bertebaran di perairan dermaga. Senja
dengan pesonanya menambah indah apa yang kami lihat disini. Ah, cantik nian
pulau ini!
Suasana Dermaga Karimun Jawa yang Begitu Dramatis |
Dari sebelum naik kapal, kami sudah
diwanti-wanti oleh pengurus agen travel yang kami pakai yang bernama Mas Ringgo
untuk menemui orang yang bernama Mas Tobing sesaat setelah sampai di pulau
Karimunjawa. Mas Tobing ini adalah pengurus agen trevel wisatakita.com yang
karena testimonial positif dari para pengguna sebelumnya akhirnya mempengaruhi
Bimo untuk memakai agen ini juga. Mas Tobing menyambut kami di dermaga dan
menuntun kami untuk masuk ke sebuah minibus L300 khusus untuk membawa kami
menuju losmen, homestay, atau hotel masing-masing. Di jalan, aku melihat
kondisi perkampungan di pulau ini. Permukiman memang sudah mulai padat layaknya
kampung-kampung pada umumnya di pulau jawa. Masyarakat sekitar pun banyak
bertebaran di jalanan untuk berinteraksi satu sama lain. Listrik di sini
menyala pada jam-jam tertentu saja, yaitu pukul 6 petang hingga 6 pagi setiap
harinya. Background kecamatan karimunjawa adalah sebuah pegunungan nan hijau
yang menurutku masih jarang dijamah dan sangat berpotensi untuk dijadikan alternatif
wisata baru di Karimunjawa.
Kondisi Kampung Disana |
Menurut cerita temanku, dulu saat ia
backpackeran ke karimun sekitar tahun 2009, kondisi permukiman memang masih
cukup sepi. Losmen atau penginapan masih sedikit yang menyebabkan ia dan
teman-temannya menginap beberapa hari di rumah penduduk setempat. Agen tour and
travel wisata tak seramai sekarang. Di tahun 2013 ini, Karimunjawa sudah
memperbaiki segala insfrastrutur untuk menunjang komoditi wisatanya sebagai
pemasukan utama pemda dan juga penduduk setempat. Losmen dan sejenisnya mulai
bermunculan bak jamur di musim hujan. Dermaga masih dalam tahap pelebaran.
Kafe, ruko penjual cinderamata, warung kuliner sudah mulai banyak. Alun-alun
yang jika malam akan ramai oleh wisatawan pun sekarang telah dilengkapi dengan
wi-fi. Oiya, mobil-mobil L300 juga banyak berseliweran untuk menjemput turis ke
lokasi wisata tujuan. Sesekali bule-bule atau turis lokal melangkahkan kakinya
dijalanan kampung hanya untuk menikmati suasana pagi atau sore.
Aku dan teman-temanku diantar hingga
tepat di depan penginapan. Rumah penginapan masih baru selesai dibangun
terlihat dari cat yang masih baru dan beberapa bagian rumah yang masih dalam
tahap finishing. Dalam satu rumah tersebut terdapat 5 kamar. Kami kemudian
menempati 2 kamar belakang. Kamar cukup luas, dengan fasilitas 1 tempat tidur
busa ukuran king tanpa dipan dan satu fan, tanpa kamar mandi dalam. Overall penginapan yang kami tempati
memang bagus dan nyaman. Untuk masalah listrik yang hanya nyala 12 jam kami tak
terlalu risau. Barang-barang yang kami bawa mulai kami tempatkan didalam kamar
dan kemudian kami melakukan bersih-bersih badan, sholat, dan tetek bengek
lainnya. Aku dan Bimo menempati satu kamar, dan yang lain, – Vina, Lina, Merry
– juga menempati satu kamar persis di samping kamarku.
Penginapan kami |
Saat matahari mulai menghilang dan
berganti bulan bintang yang beredar di gelap malam, Mas tobing datang
memberitahu kami bahwa makan malam tak disediakan di penginapan ini tapi harus
datang ke sebuah warung dekat alun-alun. Kami mengiyakan saja dan bersiap-siap untuk
menuju kesana dengan dijemput L300 sebagai bagian dari fasilitas trip. Kami
ber-lima yang sudah cantik dan ganteng rupawan akhirnya dijemput dan dibawa ke
warung yang dimaksud. Warung sederhana dengan lauk yang juga sederhana dan
bahkan sudah sisa sedikit saja lauk yang ada. Sebenarnya, Kami yang tadi sore
sudah menyantap makanan yang disediakan oleh ibu-ibu pemilik penginapan agak
kurang selera untuk makan malam. Jadi, kami hanya mengambil nasi super sedikit,
disirami dengan kuah seadanya dan mengambil lauk seperlunya. Tak perlu kenyang,
yang penting terisi.
Rencana kami selanjutnya setelah
santap malam adalah jalan-jalan ke alun-alun kemudian menyusuri jalan di
perkampungan karimunjawa ini. Tanpa ba-bi-bu kami meninggalkan warung dan
berjalan ke arah alun-alun yang tak terlalu jauh jaraknya. Seperti yang
kukatakan sebelumnya kalau alun-alun Karimunjawa akan ramai ketika malam tiba.
Sepertinya semua wisatawan baik asing maupun domestik sudah melakukan
kesepakatan terselubung untuk membanjiri area alun-alun ini. Banyak kuliner
yang dijajakan, seperti ikan bakar, cumi bakar dengan saus kecap, aneka
minuman, dan berbagai hidangan seafood lainnya. Yang menjadi primadona
wisatawan tentu saja si cumi bakar saos kecap yang kelezatannya akan
mengalahkan ketakutakan terhadap kolesterol jahat yang terkandung didalamnya. Tak
Cuma kuliner yang ada, cinderamata seperti kaos, pernak pernik, dan lain-lain
juga ikut digelar di seputaran alun-alun. Hamparan rumput alun-alun dan tikar
menjadi landasan tempat duduk para turis yang sedang menyantap kuliner khas
Karimunjawa. Beberapa ada yang tak makan, hanya ingin duduk berlesehan saja bersama
teman-teman terbaik menumpang merasakan kesederhanaan yang tak dibuat-buat.
Semua dalam hingar-bingar yang serupa dibawah kaki langit pulau cantik ini. Dan
kami termasuk didalamnya.
“Wah, cumiiiiiiiiiiii!!! Ayo beli!!
Ayo kita santap!!”, teriak Merry histeris.
“Udah besok aja Mer, masih kenyang
banget soalnya, besok kan nggak ada acara malem-malem”, tolak Lina.
“Iya besok aja sih Mer, sekarang kita
jalan-jalan aja, atau nongkrong aja di kafe amore. Kata Mas Tobing bagus kok
kafenya”, ujar Bimo.
Lina setuju dengan rencana Bimo itu,
“Oiya bener, ke kafe aja yuk, kita nongkrong sambil liat laut”.
“Yaudah ayok, tapi kowe ngerti kan dalane
Bim? (kamu tau kan jalannya Bim?)” tanyaku.
“Ngerti, mau kan wes dikandani Mas
Tobing. Pokokmen nggon orkes dangdut kawinan kae isih lurus (tau, tadi kan udah
dikasih tau Mas Tobing, pokoknya dari orkes dangdut kawinan masih lurus aja)”
Kami bersepakat untuk duduk-duduk
gembira di kafe Amore dan kemudian berjalan menuju kesana melewati orkes
dangdut yang begitu riuh. Sebuah plang bertuliskan kafe Amore kami lihat di
pinggir jalan. Amore yang sejatinya berartikan cinta atau sayang namun di plang
tersebut malah bergambarkan lumba-lumba. Mungkinkah filosofi dari plang
tersebut adalah bahwa lumba-lumba merupakan lambang kasih sayang paling murni
di dunia ini? Ah, tak penting. Kami hanya ingin merasakan suasana kafe saja.
Masuklah kami ke kafe tesebut. Kafe yang cukup bagus, sebagian meja berada
didalam ruangan dan sebagian lagi diluar yang berbatasan dengan dinding penahan
gerusan air laut (pantai aja bisa kegerus, apalagi *plrllp*). Tentu kami
memilih diluar karena bisa langsung berinteraksi dengan udara dan pemandangan
pantai. Aku dan Bimo berinisiatif mengambil menu, yang lain mencari tempat
duduk.
Outdoor Seating Cafe |
Bimo kemudian bertanya ke waiter café
dan sebuah pernyataan dari waiter tersebut mengagetkan kami!!
Apa isi pernyataan itu?
Nantikan kisah lanjutannya (jika
dirasa masih membikin penasaran para pembaca yang budiman) di “Menghisap Energi
Gradasi Biru Karimun Jawa part 2”.
Suwun.
1 komentar:
pertanyaannya "mbak mas disini jangan lama-lama ya?sebentar lagi tutup,,hahha
Posting Komentar