Selalu ada cara kenapa hidup ini membuat kita merasa
bersyukur walaupun sedang dalam keadaan getir sekalipun. Dan niscaya
kebahagiaan akan datang dengan sendirinya seperti sang surya yang kealpaannya
adalah sebuah kemustahilan. Tuhan, melalui makhluknya bernama takdir, telah
mengajarkan berbagai hal yang mampu membuat diri kita berinstropeksi untuk
menjadi manusia yang lebih baik lagi, diantaranya dalam urusan berinteraksi
secara horizontal kepada sesama manusia karena manusia memang diciptakan bukan
untuk urusan vertikal saja tapi juga untuk urusan sosial atau hubungan sesama
manusia. Maka dengan adanya hubungan ini yang terkadang susah untuk dituangkan
dalam bahasa logika, akan membuat kita semakin bersyukur bahwa kita tidak
sendiri di jagad semesta ini. kita mempunyai hal untuk dibagi ke orang lain baik
itu kebahagiaan, kesenangan, kesusahan atau bahkan beban hidup. Kita akan
tertawa dan sedih, kecewa dan menangis, terharu dan pilu yang diakibatkan oleh
hubungan manusia ini. Semua ini natural dan sangat manusiawi.
Semua hal yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia ini
pernah kualami sendiri pada suatu sore ketika aku pulang dari kantor. Aku saat
itu pulang dengan menaiki bus umum ibukota karena belum mempunyai kendaraan
pribadi, Seperti biasa, bus umum kota Jakarta yang mungkin seumuran denganku masih
setia kutunggu di pintu masuk Blok M Square. Kopaja 609 jurusan Blok M – Meruya
tak pernah masuk terminal Blok M jadi memang harus ditunggu di pintu masuknya.
Setelah menunggu sekian puluh menit bersama para penumpang lainnya, akhirnya
datang juga si kopala putih hijau tua itu. Kami berebut memasuki kopaja, ada
yang lewat pintu depan, ada pula yang lewat pintu belakang. Yang jelas, lewat
manapun pintu tak akan terhindar dari dorongan orang-orang yang ingin masuk
kopaja. Kami semua takut kalau-kalau tidak mendapat tempat duduk yang nyaman
hingga Meruya karena perjalanan yang ditempuh memang akan sangat lama gara-gara
macet di beberapa ruas jalan yang dilewati. Contohnya macet di taman puring
atau macet di jalan raya cipulir mulai dari pasar kebayoran lama hingga
pertigaan. Jika ditotal, perjalanan dari Blok M hingga Meruya kira-kira memakan
waktu 2 jam. Bayangkan jika selama 2 jam itu kita berdiri, apalagi ditambah
dengan pengapnya udara akibat penuh sesaknya kopaja dan juga polusi kemacetan.
Dalam perebutan untuk memasuki kopaja tersebut, aku yang
mempunyai badan cukup besar a.k.a gendut, berhasil memenangi lomba adu badan
dan sukses mendapatkan tempat duduk tepat di depan pintu belakang. Seorang
wanita paruh baya ternyata telah menduduki kursi yang dekat dengan jendela
sehingga aku terpaksa harus duduk di kursi yang dekat jalan lewat. Banyak
penumpang yang tidak mendapat tempat duduk dan kemudian berdiri berhimpitan di
jalan lewat keluar masuknya penumpang. Saat itu keadaan penuh sesak. Bau
keringat bercampur bau wewangian yang semakin pudar tak pelak harus kurasakan. Aku
sedikit kesal akan kondisi yang tak mengenakkan itu dan tidak bersyukur atas
tempat dudukku.
Di tengah jalan, kopaja yang kutumpangi menaikkan seorang
ibu-ibu dengan membawa anak yang masih kecil. aku sedikit heran, kenapa bus
yang sedemikian penuh masih saja memasukkan penumpang. Dalam istilah jawanya
disebut kemaruk. Ibu dan anak itu
disuruh masuk lewat pintu belakang oleh kenek busnya dan disuruh agak ke tengah
bus dan ternyata ibu itu mentok tepat disamping aku duduk. Maka perang batin
dimulailah disini. Aku yang masih punya hati nurani merasa kasihan melihat ibu
dan anak itu. Aku kemudian berpikir untuk memberikan tempat dudukku ke ibu itu
namun ternyata aku berpikir ulang. Entah setan apa yang mempengaruhiku untuk
menimbang lagi keputusan mulia itu. Tiba-tiba rasa letih dan penat
mempengaruhiku untuk punya pikiran seperti ini : “ah itu kan deritamu Bu, salah sendiri bawa anak
naik kopaja disaat jam pulang kerja gini, aku juga capek udah nunggu kopaja
dari tadi, udah aku bela-belain dorong-dorongan sama penumpang lain biar bisa
duduk, lagian anak ibu juga nggak rewel kok, toh kenapa harus aku yang ngalah? Kan masih banyak
penumpang lain yang bisa ngalah.perjalananku masih jauh Bu, jadi maaf ya.”
Sekali lagi aku menatap mata anak kecil itu yang tak
menunujukkan mimik mengeluh sama sekali. Aku justru merasa iba melihat polah
ceria bocah itu. Aku merasa malu atas diri sendiri yang tak mau mengalah untuk
dia padahal badanku jauh lebih mampu untuk menanggung apa yang bocah itu
rasakan. Seharusnya rasa syukur terhadap tempat duduk yang kudapatkan tak boleh
kudustakan, apalagi malah ditambah dengan keluh kesah akibat kondisi kopaja. Di
dalam hati masih terjadi pertempuran antara nurani dan ego, entah siapa yang
akan menang. Namun, Ego ternyata memiliki kekuatan yang berlipat ganda. Ini
jelas sumbangan energi dari kelelahan badanku. Kasihan nurani, dia punya energi
mulia tapi justru harus mengaku kalah dengan energi dari ego. Akhirnya aku
membiarkan ibu dan bocah berdiri berhimpitan.
Tindakan tak terduga terjadi dari samping tempat dudukku.
Wanita paruh baya yang duduk disampingku ternyata sedari tadi mengamati ibu dan
bocah itu dan kuyakin jelas dia menungguku untuk bertindak yang seharusnya.
Mungkin karena aku acuh dan seakan tak peduli akhirnya wanita ini memberikan
tempat duduknya ke ibu itu.
“Ibu, duduk sini aja Bu, kasihan putranya nanti nggak kuat.”
Ujar Wanita itu sambil berdiri melewatiku untuk memberikan tempatnya.
“Oh, makasih Bu, tapi nggak usah aja, anak saya nggak papa
kok beridiri” tolak ibu itu halus.
Wanita itu tetap memaksa ibu dan anak itu untuk duduk dengan
berdalih akan turun sebentar lagi. “Udah Bu sini aja duduk, saya bentar lagi
turun kok”
Akhirnya Ibu dan anak itu mau duduk tapi berhubung jarak lutut
dengan bangku depanku sempit dan Ibu susah melewatinya maka si kenek bus pun
memintaku untuk menggeser duduk ke dekat jendela. Dengan perasaan kesal dan
malu sendiri atas ego yang aku besar-besarkan, akupun menggeser duduk. Ibu itu
duduk dengan memangku anaknya kemudian anaknya tertidur pulas.
Perasaanku campur aduk waktu itu. Antara malu, sedih dan
menyakitkan. Aku merasa sangat bersalah tak memberikan tempat dudukku tapi aku
sudah kepalang malu. Di jendela, aku buang mukaku agar tak kelihatan oleh wanita
paruh baya tadi. Dalam hatiku berkata : “harusnya aku yang merelakan tempat
dudukku, harusnya aku yang diposisi wanita itu, tapi kenapa aku terlalu
membesarkan egoku? Kalau suatu saat istriku sedang dalam posisi seperti ibu ini
bagaimana? Harusnya aku berpikir jauh kedepan, harusnya aku bisa bermanfaat
bagi orang lain.” Harusnya, harusnya, dan harusnya yang hanya saya hujatkan di
hati. Saya sangat egois.
Dari peristiwa ini kemudian aku belajar banyak hal. Selain
rasa bersyukur atas apa yang didapatkan juga aku harus bisa bermanfaat bagi
orang lain. aku tak boleh egois dengan mengagung-agungkan kepentinganku
sendiri. Lebih melihat ke keadaan sekitar, apakah orang-orang di sekitar kita
masih merana sedangkan kita hidup berfoya-foya. Memang dengan aku bisa membantu
orang lain aku tidak bisa kaya raya tapi minimal kubisa membuat arti bagi hidup
orang lain dan itu memang kepuasan tersendiri yang tak bisa dibeli dengan
apapun. Bagiku, hidup bukanlah menjadi penguasa yang memiliki orang-orang yang
diperintah dengan kekuasaanya. Hidup bukanlah berambisi untuk menjadi nomer
satu dalam segala hal. Hidup juga bukan soal menjadi terkenal, dihormati banyak
orang, atau dielu-elukan bak nabi dan orang soleh lainnya. Hidup adalah
bagaimana menjalankan dharma kita sesuai dengan apa yang Tuhan bisikkan di hati
nurani ini. Apa yang kulakukan seharusnya bisa mencerminakan kesucian ajaran agama
yang kuanut ini, dan bahwa bagaimana agama seharusnya adalah menjadi rahmat
bagi kehidupan bersosial. Bagiku, Berbagi dan menularkan kebahagiaan ke orang
lain sama pentingnya dengan ibadah-ibadah wajib yang lain.
Seorang dalang edan sekaligus penulis buku, Sudjiwo tejo
pernah berkata bahwa ibadah tertingginya kepada Tuhan adalah dengan
membahagiakan orang lain. aku kagum dengan prinsip mbah dalang tersebut. Jika
mungkin beberapa ahli agama ataupun orang-orang dengan gelar haji sebelum nama
depannya selalu beribadah untuk dirinya sendiri agar bisa masuk surga, tapi
sudjiwo tejo justru memikirkan nasib orang lain. Mungkin cukup berlebihan apa
yang aku bandingkan tersebut, tapi apakah kita ingat dengan firman Tuhan
tentang haji bahwa jika kita akan berangkat naik haji sedangkan tetangga kita
ada yang hidup serba berkesusahan maka
kita diwajibkan untuk menunda haji kita dan memberikan sebagian harta berhaji
tersebut untuk menolong tetangga kita itu?
Mulai sekarang aku berkonsesus dengan diriku sendiri bahwa
sisa hidup ini ingin kugunakan untuk selalu bersyukur atas apa yang kudapat,
kemudian berbagi dan menularkan kebahagiaanku kepada orang lain. Semoga Tuhan
selalu mengingatkanku untuk membaca tulisan ini.
Mari Berbagi!
(Ditulis menggunakan komputer kantor saat jam kantor!)