Suatu tengah malam ketika aku terbangun dari tidur-ayam
setelah terlalu capek bekerja, perutku mulai merasakan lapar dan entah kenapa
aku ngidam untuk makan nasi goreng magelangan khas burjo (bubur kacang ijo)
Jogja. Tapi harus aku cari dimana makanan tersebut? Di sini, di Jakarta, aku
tak kan pernah menemukannya. Aku urungkan niat tersebut.
Tempo hari aku tak sengaja melihat sebuah burjo di kawasan
Benhil yang serupa dengan burjo-burjo di Jogja. Tak perlu pikir panjang aku
sempatkan mampir di burjo tersebut. Aku mendapatkan makanan yang aku
idam-idamkan. Dari segi rasa memang mirip dengan standard rasa nasi goreng
magelangan khas burjo Jogja. Ini mampu mengobati rasa kangen namun aku tetap
merasa ada sesuatu yang kurang, entah apa. Atau mungkin hanya sifatku saja yang
selalu merasa kurang dan tak pernah puas.
Selang beberapa bulan setelah persitiwa makan di burjo itu
aku melihat sebuah tayangan di sebuah televisi swasta. Ada seorang host wanita
yang kemudian menanyai seorang tokoh pendidikan dan juga negarawan bernama
Anies Baswedan. Host wanita tersebut menanyakan suatu pertanyaan kepada pak
Anies yang sudah diketahui berasal dan tumbuh besar di Jogja.
“Pak Anies kan tumbuh besar di jogja, nhah menurut Bapak
mana nih tempat di Jogja yang paling romantis? Pasti tau dong pak anies.”
Seloroh Host wanita itu sambil tertawa renyah.
“Semua sudut di Jogja itu Romantis kok Mbak.” Balas Pak
Anies.
Dalam hatiku, aku sangat mengiyakan pernyataan sekaligus
jawaban tokoh tersebut. Kemudian pikiranku melayang ke zaman saat aku masih
berkutat dengan perkuliahan, saat aku masih menjadi mahasiswa, cikal bakal dari
diriku sekarang.
Masa-masa yang aku anggap the best part of my life sampai
sejauh ini, memang meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagiku. Sampai
sekarang, dua tahun setelah lulus kuliah, aku masih tak mampu untuk move on
dari kenangan masa tersebut. Sudah aku coba untuk mendapatkan hal apa saja yang
dulu biasa kudapatkan di Jogja di sini, di Jakarta, tempat aku menambah pundi
uang.
Saat mahasiswa, aku tinggal bersama teman-teman sejurusanku
di sebuah kontrakan sederhan dua lantai. Kami namai basecamp kami ini
“Kontrakan Mahasiswa Teknik Sipil”. Kami melakukan apapun disini dan kami
sangat nyaman walaupun memang rumah ini sangat kotor, tidak terawatt, dan
mungkin sedikit menjijikkan.
Dulu setiap malam adalah sama seperti malam-malam lain yang
selalu aku lewati. Tak pernah ada
istilah weekend, weekdays, atau bahkan long weekend di kamusku. Semua hari
adalah hari libur. Dan hampir setiap malam aku akan selalu terjaga walaupun
untuk urusan yang tak terlalu penting. Namun memang begitulah mahasiswa pada
umumnya. Bahkan untuk bermain PES saja aku rela untuk bergadang sampai pagi. Kamar
kami adalah sebaik-baiknya kamar untuk mengaktualisasi ke-autisan diri kami.
Dan ditengah malam salah satu dari kami akan datang mengetuk pintu kamar dan
mengajak ke burjo untuk sekedar mengisi perut yang mulai keroncongan dan
tentunya juga untuk menikmati kopi pengusir kantuk. Tak semuanya memang yang
ikut pergi ke burjo karena yang tak ikut itu biasanya akan nitip belaka.
Seperti si Ucok misalnya. Dia adalah penitip ulung yang berpegang teguh akan
prinsip ekonomi. Dia memberi uang kepada kami yang pergi ke burjo yang
sebenarnya hanya cukup untuk membeli sebungkus es milo namun dia nitip es milo,
dua batang rokok dan dua potong tempe goreng. Yah tak apalah, namanya juga
mahasiswa, masih cekak kantong.
Di Burjo teteh (kami menyebutnya begitu karena kalau pagi
sampai sore yang ngejual masih dua orang wanita sunda, tapi salah diantaranya
telah dinikahi oleh teman kerjanya sndiri, si AA Asep yang bertugas di shift
malam) kami akan memamanjakan perut kami. Dengan si AA penjual yang begitu
ramah, kami mulai memesan ini itu sesuai selera kami masing-masing. Dan si AA
ini sangat baik, terbukti pesanan kami yang mau di customized macam apapun saja
akan tersajikan dengan sempurna. Mulai dari nasi telur setengah mateng, indomie
rebus pake cabe tiga dengan kuah sedikit, ataupun susu gelas kecil tambah telur
mentah, dan menu yang aku gemari adalah indomie soto yang ku tambahi sendiri
sambel merah hasil blenderan si AA.
Makanan dan minuman kami telah habis sejam yang lalu namun Kami
masih tak beranjak dari sini. Meski si AA sudah mulai terkantuk-kantuk, kami
tetap bertahan di bangku panjang ini. Kami bercerita tentang segala hal disini,
tak peduli hari esok akan seperti apa, tak takut tentang kehidupan yang terus
menerus menggerus. Tak peduli apakah besok ada kuliah pagi atau tidak, apakah
dosen pengajarnya killer atau baik, apakah ada tugas atau bahkan kuis yang
harus diselesaikan. Kami adalah sebebas-bebasnya manusia tanpa ikatan, tanpa
keharusan untuk selalu produktif. Dan malam ini adalah sama dengan malam-malam
yang lain di Jogja. Malam yang selalu sederhana. Malam yang bahkan kami tak
pernah merencanakan malam ini akan seperti apa. Kami hanya melakukan apa yang
ingin kami lakukan.
Akhirnya aku menyadari apa yang kurang saat aku menemukan
burjo di Jakarta. Walau bagaimanapun
usahaku untuk selalu menemukan apa saja yang pernah ku dapatkan di Jogja, tak
akan pernah aku temukan di sini. Barangkali memang burjo versiku adalah burjo
di Jogja dan tak kan pernah aku temukan dimanapun selain di sana. Bagiku Jogja
adalah sebuah cerita sederhana antara aku dan sahabat-sahabatku yang tak akan
pernah tergantikan. Semuanya telah terpatri dalam kenangan di setiap
sudut-sudut kota itu.
Aku tak akan mengulangi lagi semua yang pernah ku rasakan di
Jogja di tempat manapun. Karena semua kenangan itu tak pernah mampu untuk
diulangi bahkan di Jogja sekalipun. Ketika kita berusaha untuk mengulangi
kenangan kita, niscaya itu tak akan pernah lagi sama.
Semua kenangan tersebut biar ku simpan sendiri dalam
pikiranku. Kenangan tentang burjo, kontrakan, dan Jogja yang akan selalu aku
nikmati di setiap kesendirianku sambil menatap hujan atau menikmati sawah-sawah
berlatar gunung saat aku melakukan perjalanan dengan kereta.
“Jogja memang terbuat dari burjo, rindu, dan pulang.”